QOWA’ID AL-FIQH 21-30

Kaidah ke-21

العادة محكمة

Adat bisa dijadikan sandaran hukum.
Contoh kaidah:
Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang dikehendaki, maka
berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haidh, nifas dan suci bergantung pada
kebiasaan (adapt perempuan sendiri).
Kaidah ke-22


ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة
يرجع فيه الى العرف


Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara’ dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya
dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-
“urf) yang berlaku.
Contoh kaidah :
Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan
menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut.
Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat di
dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup
menghadirkan hati; “aku niat shalat .… rakaat”. itu sudah di anggap cukup.
Jual beli dengan meletakan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah tidak sah.
Dan menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiyasaan.
Kaidah ke-23

الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد

Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Contoh kaidah:
Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke dua,
maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak
memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan
demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap
arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.
Ketika seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian
ijtihadnya berubah dari ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah (tidak
rusak).
Kaidah ke-24

الاء يثار بالعبادة ممنوع

Mendahulukan orang lain dalam beribibadah adalah dilarang.
Contoh kaidah:
Mendahulukan orang lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam shalat.
Mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu. Artinya,
ketika kita hanya memiliki sehelai kain untuk menutup aurat, sedangkan teman kita juga
membutuhkannya, maka kita tidak boleh memberikan kain itu kepadanya karena akan
menyebabkan aurat kita terbuka. Begitu pula dengan air yang akan kita gunakan untuk
bersuci, maka kita tidak boleh menggunakan air tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan
ibadah.
Firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah (2):148.
” …Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…”
Kaidah ke-25

الاء يثار بغيرالعبادة مطلوب

Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan.

Contoh kaidah:
Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
Mempersilahkan orang lain untuk makanan lebih dulu.
Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hasr (59):9.
Artinya:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah
orang orang yang beruntung.”
Kaidah ke-26

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة


Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dlakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.
Contoh kaidah:
Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak (mustahiq)
dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat kebutuhannya sama.
Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengankat seorang fasiq menjadi imam
shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang baik
(makruh).
Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal kepada seorang
yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih membutuhkan.
Rasulullah SAW. bersabda :

كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته

Artinya :

“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dsari kalian akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinan”.
Kaidah ke-27

الحدود تسقط بالشبهات

Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat.
Contoh kaidah:
Seorang laki-laki tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual dengan wanita
lain yang disangka istrinya (wathi syubhat).
Seseorang melakukan hubungan seks dalam nikah mut’ah, nikah tanpa wali atau saksi atau
setiap pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat dikenai had sebab masih adanya
perbedaan pendapat antara ulama, sebagian membolehkan nikah mut’ah dan nikah tanpa
wali dan sebagian lagi berpendapat sebalikannya.
Orang mencuri barang yang disangka sebagai miliknya, atau milik bapaknya, atau milik
anaknya, maka orang tersebut tidak dikenai had.
Orang meminum khamr (arak) untuk berobat tidak dikenai had karena masih terdapat
khilaf antar ulama’.


قال النبي صلى الله عليه وسلم : ادرؤا الحدود بالشبهات


Artinya:
Nabi SAW. bersabda: Tinggalkanlah oleh kamu sekalian had-had dikarenakan (adanya)
berbagai ketidak jelasan.
Kaidah ke-28

ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب

Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan
keberadaannya,maka hukumnya wajib.
Contoh Kaidah:
Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat berwudhu.

Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis (wentis) pada saat membasuh lengan
dan kaki.
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya dan
wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.
Kaidah ke-29″

الخروج من الخلاف مستحبٌّ

Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab).
Contoh kaidah:
Disunatkan menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air ke kepala dengan
mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilafdengan imam malik berpendapat bahwa
dalk dan isti’ab al-ro’sy (meneteskan kepala dengan air) adalah wajib hukumnya.
Disunatkan membasuh sperma, yang menurut imam malik wajib hukumnya.
Sunah men-qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah, karena keluar
dari khilaf dengan Abu hanifah yang mewajibkannya.
Disunatkan untuk tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika membuang
hajat, walaupun dalam sebuah ruangan atau adanya penutup, karena untuk keluar dari
khilaf imam Tsaury yang mewajibkannya.
Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
Upaya mengatasi perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain. Seperti lebih
diutamakan memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan dua salam) dari pada
melanjutkanya. Dalam hal ini pendapat Imam Abu Hanafiah tidak dipertimbangkan karena
adanya ulama yang tidak membolehkan witir dengan digabungkan
Tidak bertentangan dengan sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti
disunatkannya mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang ulama Hanafiah
menganggap hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima puluh orang sahabat,
Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat kedua tangannya.
Kautnya temuan tentang bukti perbedaan, sehingga kecil kemungkinan terulangnya
keslahan serupa. Dengan alas an itu, maka berpuasa bagi musafir yang mampu menahan
lapar dan dahaga aladah utama, dan tidak dipertimbangkan adanya pendapat para kaum
Zahiruasa musafir itu tidak sah.
Kaidah ke-30

الرخصة لاتناط بالمعاصى

Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.
Contoh kaidah:
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena
berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.
Orang yang berpergian karena maksiat, walaupun dalam kondisi terpaksa juga tidak
diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi.

LINK :

QOWA’ID AL-FIQH 1-10

QOWA’ID AL-FIQH 11-20

QOWA’ID AL-FIQH 21-30

QOWA’ID AL-FIQH 31-40