QOWA’ID AL-FIQH 11- 20

Kaidah ke-11

المشقة تجلب التيسر

Kesulitan akan menarik kepada kemudahan.
Contoh kaidah :
Seorang bernama Godril yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk berdiri ketika
shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Begitu juga ketika ia merasa
kesulitan shalat dengan duduk, maka diperbolehkan melakukan shalat dengan tidur
terlentang.
Seseorang yang karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan untuk
menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayamum.
Pendapat Imam Syafi’i tentang diperbolehkannya seorang wanita yang bepergian tanpa
didampingi wali untuk menyerahkan perkaranya kepada laki-laki lain”.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain:
Perkataan Imam al-Syafi’i:

الامر اذا ضاق اتسع

Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Perkataan sebagian ulama:

الاشياء اذا ضاقت اتسع

Ketika keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas.
Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
KERINGANAN HUKUM SYARA’

Keringanan hukum syara’ (takhfifat al-syar’i), meliputi 7 macam, yaitu:
Takhfif Isqat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti menggugurkan kewajiban
menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena adanya ‘uzdur (halangan).
Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya
menqashar shalat.
Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu dan mandi
dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi isyarat dalam
shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.
Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan. Seperti
dalam shalat jama’ taqdim, mendahulukan zakat sebelum khaul (satu tahun),
mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir Ramadhan.
Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Seperti dalam
shalat jama’ ta’khir, mengakhirkan puasa Ramadhan bagi yang sakit dan orang dalam
perjalanan dan mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.
Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti diperbolehkannya
menggunakan khamr (arak) untuk berobat.
Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat dalam
keadaan takut (khauf).
Kaidah ke-12

الاشياء اذا اتسع ضاقت

Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan
banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa
(perpaduan) menjadi satu kaidah berikut ini:

كل ما تجوز حده انعكس الى ضده

Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya.

Kaidah ke-13

الضرر يزال

Bahaya harus dihilangkan.
Contoh kaidah:
Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya ‘aib (cacat) pada
barang yang dijual.
Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan perempuan
karena adanya ‘aib.
Kaidah ke-14

الضررلا يزال بالضرر

Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Contoh kaidah:
Mbah Yoto dan Lutfi adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat
membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Mbah Yoto, saking tidak tahannya
menahan lapar nekat mengambil getuk Asminah (asli produk gintungan) kepunyaan Lutfi
yang kebetulan dibeli sebelumnya di warung Syarof CS. Tindakan mbah Yoto -walaupun
dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak bisa dibenarkan karena Lutfi
juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.
Kaidah ke-15

الضرورات تبيح المحظورات

Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Contoh kaidah:
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi, ditengah-tengah
hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan begal, semua bekal
Rahman ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan -sayangnya Rahman tidak bisa
seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal- karenanya mereka
pergi tanpa memperdulikan nasib Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa
kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-

tiba tampak dihadapan Rahman seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-
gerakkan ekornya seakan-akan mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut.
Namun malang juga nasib si babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar babi
tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang,
Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar
mengobati rasa lapar. Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi kelaparan
tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula
dilarang.
Diperbolehkan melafazdkan kalimat kufur karena terpaksa.
Kaidah lain yang kandungan maknanya sama adalah kaidah berikut:

لا حرام مع الضرورة ولا كراهة مع الحاجة


Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh ketika ada hajat
Kaidah ke-16

ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها


Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar
daruratnya.
Contoh kaidah:
Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, berarti Rahman yang dalam
kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi tangkapannya itu sekira cukup
untuk menolong dirinya agar bisa terus menghirup udara dunia. selebihnya (melebihi
kadar kecukupan dengan ketentuan tersebut) tidak diperbolehkan.
Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh
dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak
diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.
Kaidah ke-17

الحجة قد تنزل منزلة الضرورة

Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat.
Contoh kaidah:

Diperbolehkannya Ji’alah (sayembara berhadiah) dan Hiwalah (pemindahan hutang
piutang) karena sudah menjadi kebutuhan umum.
Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam muamalah
atau karena khithbah (lamaran).
Kaidah ke-18


اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب
اخفهما


Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah mafsadah yang
lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan.
Contoh kaidah:
Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang dikandungnya
diharapkan masih hidup.
Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi karena bahaya yang ditimbulkannya
lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.
Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya (timbulnya rasa
aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
Diperbolehkannya seorang yang bernama Junaidi yang kelaparan, padahal ia tidak
memiliki cukup uang untuk membeli makanan, untuk mengambil makanan Eko Setello
yang tidak lapar dengan sedikit paksaan.
Kaidah ke-19

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.
Contoh kaidah:
Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang
disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga
masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.

Meresapkan air kesela-sela rambut saat membasuh kepala dalam bersuci merupakan
sesuatu yang disunatkan, namun makruh dilakukan oleh orang yang sedang ihram karena
untuk menjaga agar rambutnya agar tidak rontok.
Kaidah ke-20

الاصل فى الابضاع التحريم

Hukum asal farji adalah haram.
Contoh kaidah:
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam sebuah
perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan tersebut
dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi istrinya.
Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh karenanya
perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah perempuan
yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara perempuannya yang haram
dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika jumlah perempuan itu banyak dan tidak
dapat dihitung, maka terdapat kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan
tidak tertutup dan pintu terbukanya kesempatan berbuat zina.
Seseorang mewakilkan (al-muwakkil) kepada orang lain untuk membeli jariyah (budak
perempuan) dengan menyebut cirri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat menyerahkan
jariyah yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil) tersebut meninggal.
Maka sebelum ada penjelasan yang menghalalkan, jariyah itu belum halal bagi muwakkil
karena walaupun memiliki cirri-ciri yang disebutkannya, dikhawatirkan wakil membeli
jariyah untuk dirinya sendiri.
Allah SWT. berfirman QS. Al-Mukminun (23) 5-7.

وَٱلَّذِینَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَـٰفِظُونَ۝ إِلَّا عَلَىٰۤ
أَزۡوَٰ⁠جِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَیۡرُ مَلُومِینَ
۝ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَاۤءَ ذَٰ⁠لِكَ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ

Artinya:

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas.”
Lebih jelasnya sesuai dengan ayat quran tersebut bahwa seorang budak halal bagi tuannya
tetapi berhubung belum ada indikasi yang jelas mengenai kehalalannya sebagaimana
contoh di atas maka budak tersebut belum halal bagi muwakkil (orang yang mewakilkan).



LINK :

QOWA’ID AL-FIQH 1-10

QOWA’ID AL-FIQH 11-20

QOWA’ID AL-FIQH 21-30

QOWA’ID AL-FIQH 31-40