Para ulama sepakat (kecuali kelompok sesat qadariyyah dan Mu’tazilah Baghdad) akan wajibnya masyarakat awam yang bukan mujtahid untuk taqlid kepada mazhab tertentu dalam masalah-masalah ijtihadiyyah (fiqih), dalam arti bermazhab dengan mazhab tersebut.
Bahkan Ibnu Qudamah (w. 620 H) menghukuminya sebagai kewajiban (Ibnu Qudamah, Raudhah an-Nadzir, hlm. 383).
Sebagaimana pendapat ini diamini pula oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in, (hlm. 4/187, 201), dan asy-Syaukani, dalam Irsyad al-Fuhul, (hlm. 266). Dua tokoh yang sering dirujuk oleh mereka yang menolak taqlid mazhab.

Bahkan imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menjelaskan bahwa kepentingan masyarakat awam (muqallid awam) pada dasarnya bukanlah bagaimana mereka harus tahu dan meneliti dalil al-Qur’an dan Sunnah atas amalan beragama mereka. Sebab pengetahuan tentang dalil adalah kewajiban ulama, sedangkan masyarakat awam cukup bagi mereka merujuk kepada ahlinya dalam menjalankan agama mereka. Beliau berkata dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din (hlm. 3/36).

“Sesungguhnya kepentingan orang-orang awam adalah mereka cukup beriman, berislam, dan sibuk dengan ibadah dan maisyah/mencari nafkah mereka. Dan menyerahkan kesibukan menuntut ilmu kepada ulama. Seorang awam seandainya ia berzina atau mencuri, itu lebih baik baginya, dari pada ia berbicara tentang ilmu. Sebab jika ia berbicara tentang ilmu dan agamanya tanpa memiliki kecukupan dan kecakapan ilmu, ia dapat jatuh kepada kekufuran tanpa ia sadari. Seperti seorang yang berenang dalam arus ombak laut, padahal ia tidak mengetahui cara untuk berenang.”

(CE.Az)