Jerit tangisnya pecah, di pojok ruangan pengap berlantaikan ubin tua yang kelihatan mulai usang menguning. Alif, bocah yang dikenal teman-temannya sebagai seorang anak yang tangguh, tiba-tiba runtuh juga tembok pertahanannya. Semua peserta seleksi lomba pun serempak kaget, saling tatap dengan pandangan menyelisik. Tanpa pertanda angin, tidak ada hujan, Si Alif tiba-tiba meraung keras menumpahklan segala tangisnya.

“Ssttt… mungkin ia sedih dimarahi ayahnya, karena nilai UTSnya kemarin jelek” celetuk  salah satu anak.

Ngawur kamu, ndak mungkin lah, ayahnya kan udah lama meninggal. Lagian juga, dimarahi apanya? disambang saja tidak pernah!” jawab anak lainnya dengan nada mengejek.

“Mungkin! Tapi menurut saya, karena Alif dimarahi oleh Pak Edi tadi.” timpal lainnya.

“Marah apaan? Pak Edi kan hanya menyuruhnya menyelesaikan pekerjaannya! cuma itu! hanya tinggal mewarnai juga!”

Semua santri yang ada dikelas itu saling berbisik. Seleksi lomba pagi itu baru sepucuk, -berjalan 15 menit dari rencana 2 jam- akan tetapi spekulasi yang menyebar secara liar meriuhkan suasana di dalam kelas. Tiga puluh dua siswa dalam sekelas saling berbisik menyuarakan pendapatnya. Ada yang bilang bahwa Si Alif kerasukan roh jahat, kena guna-guna, tak punya uang, tidak berseragam, atau memang karena ia memang sudah rubuh pendirian. Sebagai anak semata wayang, sangat berat memang kehidupan yang harus ia jalani bersama ibunya.

“Stttt… Pak Edi… Pak Edi… !” celetuk seorang dari mereka.

Kekacauan itu segera terhenti, ketika masuk sesosok tegap berkumis tebal yang dehamnya saja bisa menyumbat tiga puluh penafsiran. Suara tangisan Mualif pun hanya sesekali terdengar patah-patah, sesenggukan.

“Ada apa ini? kenapa kamu Mualif?” tanya bapak setengah baya itu dengan suara berat. Mualif hanya menggelengkan kepalanya, menahan sesenggukan tangisnya yang memang harusnya belum usai.

“Rastam?” lanjut memalingkan pandangan interogasinya pada salah satu siswa di pojok belakang.

“Bukan saya, Pak Edi!. saya tidak tahu apa-apa kok!” bantah anak yang duduk disamping Mualif itu dengan muka masam.

“Badrun!” Pak Edi berganti memalingkan wajahnya ke kiri.

“Apalagi saya, Pak! saya kan jauh duduknya.” jawab Badrun sekenanya.

“Biasanya kalian berdualah yang terbiasa mengusili temanmu” tuduh Pak Edi dengan menebar tatapan curiga.

“Ndak tahu, Pak! tiba-tiba saja Alif menelungkupkan wajahnya ke meja dan menangis sekerasnya, Pak!” sergah salah seorang anak yang duduk di barisan tengah paling belakang sambil mengacung-acungkan crayon ditangannya.

“Betul itu, Fur?” Pak Edi terus mengejar pernyataan mereka.

“Maaf, Pak! saya tidak tahu, karena saya duduknya juga paling depan!” jawab siswa berkaca mata paling depan.

“Yah, Bapak kalau dengan kita tidak pernah percaya, Pak! Ghofur aja yang dipercaya. Mentang-mentang dia ketua kelas!” jawab siswa pojok kanan. Bukannya tidak percaya, mungkin Pak Edi akan berfikir dua kali untuk menelan mentah-mentah pernyataan Rastam, Badrun and the geng. Karena selama ini, mereka berdualah yang menjadi lakon di kelas VIII.

Pandangan Pak Edi kembali kepada Mualif yang masih menelungkupkan wajahnya ke meja. Pak Edi pelan-pelan mengelus kepalanya sambil menenangkan. “Kenapa kamu, Le?”

Mualif tetap tidak bergeming. Kini intensitas tangisannya semakin meningkat lagi. Kertas gambar A4 yang baru ia gambari huruf Alif dengan Khat Tsulust –dari rencana lafadz Allah-, coretan spidolnya mulai luntur tak berbentuk dibanjiri air mata.

“Kamu dijahili teman-temanmu?” tanya Pak Edi pelan. Namun, sekali lagi Mualif hanya menggelengkan kepalanya. Sejenak terbersit rasa sesal dalam hati Pak Edi karena beberapa saat lalu sempat agak membentak muridnya itu, untuk segera menyelesaikan gambarnya. Waktu yang ia berikan untuk seleksi lomba adalah 120 menit, tapi baru 10 menit ia sudah mengumpulkannya, tidak selesai pula. Jangankan diwarnai, bentuk dan kharakatnya pun belum sempurna. Padahal ia adalah harapan sekolah satu-satunya untuk mewakili FLS2N tingkat kabupaten bidang seni kaligrafi. Dan seleksi kali ini bisa dibilang hanyalah formalitas belaka.

Tiap ditanya alasan, ia hanya menjawab bahwa ingin pulang. Jawaban itu sudah ketiga kalinya didengar oleh Pak Edi, tiga kali pula wali kelasnya itu menasehati Mualif dengan pesan yang sama. Pak Edi menceritakan harapan Ibu Mualif ketika setahun lalu datang ke pesantren dengan wajah memelas, untuk menitipkan anaknya di pesantren ini. Bahwa ibunya ingin Alif belajar menjadi “manusia yang benar”. Tidak seperti riwayat almarhum ayahnya yang meninggal di negeri seberang karena terinfeksi penyakit asusila.  Bahwa Alif  harus belajar terus tegak tirakat, walaupun tanpa bantuan finansial dari orang tuanya. Maklum, ibunya hanya pekerja buruh tani lahan orang lain, sawah tadah hujan pula. Untuk hidup sehari-hari saja ia harus gali lubang tutup lubang, mengutang kesana-kemari. Tidak mungkin ia dapat membiayai pendidikan putra satu-satunya itu, apalagi sekolah sambil mondok.

Memang sudah tiga kali ini Mualif mengutarakan niatnya untuk pulang dalam setengah bulan terakhir, akan tapi ditolak mentah-mentah oleh Pak Edi. Terbaru, sewaktu Jum’at Pon tiga minggu yang lalu, ketika waktu sambangan. Ia memelas duduk dibawah pohon Kecacil halaman pondok, memandang mesranya para santri bersender di pundak ibunya. Kangen sekali rasanya ia dengan rumah, apalagi pada orang yang melahirkannya itu. Sudah setahun lebih dia tidak bersua. Disamping karena jauh, tidak ada biaya, Mualif juga tidak bisa pulang waktu liburan semester tahun pelajaran lalu. Memang sebagai seorang abdi dalem, tenaganya sangat dibutuhkan untuk menjaga pesantren saat ditinggalkan ribuan santri pulang. Hanya Pak Edi menjenguknya kadang-kadang, sambil membawakan gorengan Mak Ju, depan pondok. Agak miris keadaannya memang, tapi itu adalah pilihan Mualif sendiri. Bocah itu teguh memilih untuk lebih fokus menyelesaikan belajarnya, menghafal 10 juz untuk tiket beasiswa sekolah ke Turki. Dan tidak tahu mengapa, beberapa hari ini ia terlihat murung dan bimbang.

Pak Edi hanya menghela nafas panjang. “Ya sudah, lanjutkan dahulu nangismu! Bapak tunggu di kantor BK”

“Anak-anak, silakan dilanjutkan menggambarnya. Satu setengah jam lagi dikumpulkan. Lima karya terbaik akan masuk seleksi kedua” pungkas Pak Edi lalu berpamitan ke kantor. Maklum, besok adalah jadwal beliau untuk disupervisi bapak kepala sekolah. Tanggung jawab perangkat pembelajaran beserta program semester harus terpenuhi.

Setengah jam ditunggu di ruang BK, akhirnya Mualif menemui Pak Edi. Tubuhnya terlihat gontai, tanpa semangat. Tidak seperti Mualif yang dulu terkenal optimis dan kutu buku. Walau jarang bergaul dengan teman-temannya, dia selalu bersemangat dalam belajar.

“Assalamualaikum Pak Edi!” terdengar suaranya agak gemetar. Mualif mendatangi Pak Edi kemudian mencium tangan wali kelasnya itu. Pipinya masih basah, sebagian air matanya menempel di tangan Pak Edi.

“Waalaikumsalam. Gimana Lif sudah mendingan?” lelaki setengah baya itu bertanya sambil menghela nafas dalam.

“Ceritakan kepada Bapak keresahanmu. Barangkali Bapak bisa membantu!”

“Pak!” gantian sekarang Mualiflah yang menghela nafas. Kedua kelopak matanya yang sayu melukiskan bahwa disana terkandung tekanan batin yang sangat dalam. Terlalu berat untuk ditanggung bocah seusia dia.

“Sudah tiga kali ini saya bermimpi bertemu Ibu, Pak. Lain dari biasanya, Ibu datang padaku dan meminta pertolongan. Tiga kali pula selalu berulang” lanjut Mualif pelan. Ia seakan mau menumpahkan kekhawatiran hatinya yang lama terpendam.

Pak Edi sekali lagi menghela nafasnya, “Jadi keputusanmu sudah bulat?”

“Mohon sekali ini saja pak” pinta Mualif memelas.

“Duh, bagaimana ya? Coba saya mintakan izin dahulu pada Kang Aji, barangkali pengurus pondok bisa menggantikan tugasmu sementara. Sudah hafal berapa Juz?”

“Lima Pak!” jawab Mualif. Suaranya kini terdengar lebih stabil. 

“Tapi ingat permintaan Bapak, kamu sudah melewati banyak cobaan untuk sampai ke sini. Apapun nanti yang terjadi, jangan sampai hal itu menghambat cita-citamu. Takdir Allah itu sudah pasti. Tugas kita adalah bertawakal, madhep mantep melu tekdire Gusti Alloh”tutur Pak Edi.

Geh Pak” jawabnya kini agak bersemangat. Raut mukanya terlihat agak bergembira.

“Jangan lupa kirim kabar kalau sudah sampai rumah”

***

Beberapa hari telah berlalu. Tidak lagi tampak Mualif yang produktif dalam memajang karyanya di mading pondok, santri yang rutin dan dengan penuh semangat melaksanakan tanggung jawabnya menyapu halaman pesantren setiap pagi dan sore. Hati Pak Edi mulai tak tenang, menebak-nebak perihal yang terjadi pada anak didiknya itu. Sering ia duduk gelisah di depan rumah dinasnya, pojok utara di kompleks pesantren. Mengapa juga tiada kabar setelah hampir seminggu ia berpamitan pulang.

Walau besok libur, malam Jumat Pon ini memang Pak Edi sengaja tidak pulang ke rumah. Besok adalah hari sambang, waktu para wali santri diizinkan untuk menjenguk putra-putrinya sekali dalam sebulan. Ia berharap Mualif kembali datang, atau minimal ada yang tahu, atau menyampaikan kabar dari murid kebanggaannya itu.

Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, ia memandang bak sampah depan rumahnya yang hampir penuh. Rasa kangen justru mulai menggerayap di hati Pak Edi. Perlahan terdengar lantunan sholawat dari pengeras suara Soko Songo, aula tempat santri melakukan kegiatan Jami’yahan. Disanalah biasanya ia bisa mendengar suara merdu muridnya itu. Tak tahu mengapa, Pak Edi juga memigura kaligrafi karya muridnya, “Huruf Alif” yang kemarin belum selesai dengan tintanya yang biru mengabur. Sekilas memandang, itu mengingatkan akan perlambangan Allah dengan keesaan-Nya. Juga mengingatkan dirinya pada bocah malang itu.

Setiap habis sholat, doa dan wirid telah Pak Edi panjatkan agar Mualif diberikan kemudahan. Dari awal memang ia selalu menspesialkan murid satunya itu. Ada perasaan empati yang sangat dalam ia rasakan, bahwa Mualif mengingatkan masa kecilnya yang harus mengenyam pendidikan dasar sambil pontang-panting jualan es keliling, bahwa ia harus izin setiap bakdal Subuh untuk meloper koran, atau kadang-kadang mengisi liburan dengan naik-turun bus untuk menjajakan asongan. Melihat Mualif, Pak Edi seperti melihat refleksi dirinya di masa kecil. Tidak patah arang, selalu bersemangat mencapai sesuatu yang diidamkan.

Gerimis kecil-kecil mulai turun di atas kepala Pak Edi, yang kemudian menyadarkan lamunannya. Ia segera bergegas mematikan rokoknya lalu memasukkan motor bututnya ke teras rumah.

“Malam ini akan menjadi malam yang panjang” desahnya sambil masuk ke dalam rumah dinasnya. Lantunan puji-pujian Sholawat masih terdengar dari speaker Soko Songo.

***

“Assalamualaikum Pak…, Tok, Tok, Tok!”

Hujan baru saja berhenti, dan baru sebentar ia merasa terlelap, pintu rumahnya diketuk dari luar. Pak Edi membuka matanya yang masih terasa berat. Ia memandang jam tangannya, baru juga pukul 02.00 dini hari. “Siapa tamu sepagi ini?” pikirnya.

“Assalamualaikum Pak…” suara dari luar mengulangi.

“Waalaikumsalam” jawabnya sambil berjalan gontai membukakan pintu. Dengan matanya yang sipit dan setengah terbuka ia memandang siapa gerangan yang bertamu sepagi ini.

“Loh, Kang Poyo! Ada apa?” tanyanya sambil mengamati sosok didepannya. Dialah Supoyo, satpam pesantren yang piket bertugas jaga malam.

“Di depan ada Kang Alif, Pak! mencari jenengan, tapi…”  jawab Poyo sambil menunjuk gerbang di belakangnya. Belum selesai petugas keamanan itu menjelaskan, Pak Edi sudah memotong perkataannya. Perasaan lega memang menyelimut di dadanya, ingin ia berjumpa dengan Mualif pada saat itu, akan tetapi rasa ngantuknya masih sangat berat. Rasanya ingin sekali ia melanjutkan tidurnya barang setengah jam lagi.

“Sepagi ini? suruh langsung masuk ke pondok putra saja. Besok setelah subuhsuruh menemui saya” jawabnya sambil memegang gagang pintu dalam, bermaksud ingin menutupnya.

“ Tapi, Pak!” jawab Poyo sambil sesekali mengusap dahinya yang basah.

“Tapi apa Kang?” jawab Pak Edi sambil mengusap air matanya setelah menguap beberapa kali.  

“Ia datang menaiki becak Pak, beserta ibunya” jawab Poyo melanjutkan kata-katanya dengan agak terbata.

“Loh, benar itu Kang?” tanya Pak Edi kaget, dan Poyo pun hanya terdiam mengangguk membenarkan.

Perkataan Poyo yang terakhir itu membuat mulut lelaki itu menganga. Kedua matanya langsung terbelalak. Rasa ngantuk yang sudah tak tertahankan lagi sedari tadi hilang serta merta entah kemana, digantikan dengan rasa penasaran yang amat tebal. Ia segera menyuruh Poyo untuk mempersilakan Mualif dan ibunya masuk. Ia pun mengambil air wudlu dan menyalakan lampu ruang tamu. Sebenarnya juga tidak layak amat disebut sebagai ruang tamu, karena tidak ada kursi atau meja layaknya ruang tamu pada umumnya. Ruangan dengan lantai yiyitan semen, berukuran 2×3 meter yang hanya beralaskan karpet hijau. Itupun belum terpangkas almari kecil tempat kitab yang ada pojok ruangan.

Pak Edi kemudian menengok ke arah luar rumah. Sosok yang dinanti belum juga datang. Dan tiba-tiba ia secara samar-samar melihat sesosok bocah yang berjalan mendekat memanggulibunya yang sudah renta di pundak. Matanya yang tadi berair karena menguap ngantuk, kini seakan ingin tumpah karena haru. Lelaki itu tidak menyangka tubuh mungil Alif yang baru seusia anak SMP mampu menahan berat tubuh ibunya. Tapi bukan beban berat badannya itu yang membuat Pak Edi trenyuh, akan tetapi beban hidup yang harus ia tanggung pada masa sekecil itu.

“Alif, perlu Bapak bantu?” sergah Pak Edi mendekati Mualif yang lamat-lamat mulai mendekat.

“Terima kasih, tidak usah, Pak!. Tapi barangkali Bapak punya kursi, tolong dipersiapkan satu pak, untuk ibu” jawab Mualif terengah-engah sambil berjalan memanggul ibunya masuk. Tinggi tubuhnya memang belum setinggi ibunya, sehingga kedua kaki ibunya masih terseret di tanah.

Pak Edi segera berlari menuju ruang sekuriti untuk meminjam kursi. Maklum, di rumah dinasnya cuma ada satu dampar untuk mengaji, itu pun tingginya tidak seberapa, hanya sekitar 30 centi. Setelah mendapatkan kursi, Pak Edi segera membantu Alif untuk merebahkan tubuh ibunya. Kedua tangan dan kakinya terkulai lemas. Sosok wanita tua kurus kering itu hanya bisa merebah diatas kursi dengan mata berkedip-kedip saja. Dari yang ia tebak, ini adalah gejala-gejala pengidap penyakit stoke.

“Ceritakan kepada Bapak, apa sebenarnya yang terjadi!”

Mualif bercerita panjang lebar, mengenai ibunya yang menderita penyakit hipertensi dan stroke. Ia bingung harus kemana, karena ia sudah tidak memiliki sanak saudara lagi. Sewaktu ibunya sakit pun hanya dibantu oleh beberapa tetangganya secara bergantian.

Begitu ia tahu ada salah satu tetangganya yang membawa truk muatan ke Tuban, ia segera mengajukan diri agar bisa menumpang sampai di Alun-Alun. Tidak disangka, ia malah diberikan tambahan bekal untuk membayar biaya bentor sampai ke pondok. Mualif bercerita selama beberapa jam sampai adzan subuh menjelang. Pak Edi hanya bisa mengangguk-angguk sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam. Lelaki yang sejak awal memang sudah terkejut dengan kedatangan muridnya itu, kini semakin terkejut lagi setelah mendengarkan perjalanan kisahnya selama sepekan ini. Kaget lagi, bahwa Mualif meminta untuk menemaninya sowan pada Kiyai agar diberikan sedikit tempat kosong di pesantren untuk merawat ibunya.

Sebenarnya Pak Edi sudah menawarkan solusi terbaik untuk Mualif, yakni dengan menyewa pengasuh di luar pesantren, agar dia fokus dalam belajar. Pak Edi juga sanggup untuk menanggung biaya yang timbul atasnya. Tapi sekali lagi Pak Edi dibuat terkesima oleh bocah itu, bahwa ia ingin merawat sendiri wanita itu. Ibu kandungnya adalah satu-satunya yang ia miliki. Ia berjanji tidak akan melalaikan tanggung jawab atau telat dalam melaksanakan tugas hanya karena merawat beliau.

Pagi itu juga, setelahsubuh Mualif ditemani Pak Edi sowan dalem Kiyai. Betapa berbinar-binarnya Mualif setelah mendapatkan izin dan sedikit tempat di gudang olahraga untuk merawat ibunya. Ia semula menolak dengan halus tawaran Kiyai agar menempati rumah dinas Pak Edi, atas anjuran dari wali kelasnya itu. Dengan tangis bahagia, bocah itu segera berlari mendatangi ibunya dan merangkulnya dengan erat. Pak Edi yang berjalan di belakangnya hanya bisa meneteskan air mata bahagia dan bangga. Sekilas ia memandang kaligrafi huruf alif tak sempurna yang ia pigura. Hari ini ia bersyukur mendapatkan pembelajaran yang sangat banyak dari Alif yang memegang prinsip. Bocah SMP yang mampu tegak berdiri diatas semua cobaannya. Alif yang ingin samar tersembunyi, serta tidak menampakkan keistimewaannya. Alif yang qonaah menerima segala yang jadi takdirnya. Demi mencapai cita-citanya mendapatkan beasiswa bersekolah ke Turki.

(CE.Ad)