Belajarlah kamu dari kecil sampai ke dalam liang lahat, kalimat tersebut begitu familiar dalam kehidupan di pondok pesantren. Hanya saja kefamiliaran kalimat tersebut tidak dibarengi dengan semnagt untuk belajar yang tinggi dari orang-orang khususnya para santri. Kalimat tersebut hanya menjadi sebuah slogan yang setiap hari dibaca. Bukan menghakimi bahwa semua satri seperti itu, hanya saja keadaan yang sebenarnya bertolak belakang dengan kalimat tersebut. Akhir-akhir ini memang semangat santri untuk belajar sedikit lebih berkurang daripada hari-hari sebelumnya. Kejenuhan mungkin sedang dirasakan oleh para santri yang sedang mukim. Kejenuhan tersebut mungkin tercipta karena merasa kegiatan keseharian yang monoton, tanpa ada dinamikanya. Orang sering menganggap kejenuhan ini hal yang biasa, padahal bagi orang yang mengalami hal tersebut akan terasa sangat-sangat tidak menyenangkan.

Belajar bukanlah hal yang rumit, hanya saja kita sendirilah yang mempersulit belajar tu sendiri. Allah SWT pun telah mengajarkan kepada kita melalui Al Quran mengenai cara belajar yang mudah dan sederhana. Bagaimana caranya? yaitu dengan cara membaca, seperti yang diterangkan dala surat al Alaq ayat satu sampai lima. Dari kelima ayat tersebut Allah SWT mengajarkan kepada kita, bagaimana cara belajar yang paling sederhana, yaitu dengan cara membaca. Hanya saja bagaimana cara santri membagi waktunya untuk belajar secara mandiri, di luar jam pelajaran di sekolah dan pondok.

Efektifitas para santri dalam mengatur waktunya untuk terus menerus belajar adalah cara paling efisien untuk menangkal kejenuhan di dalam pondok pesantren. Semisal sembari mengatri mandi santri bisa memanfaatkan waktunya untuk menambah hafalan yang dimiliki, atau mungkin juga ketika pagi selesai sarapan nasi bungkus dengan kemasan kertas koran. Janganlah langsung dibuang bungkusnya, alangkah lebih baik dibaca dulu, informasi yang tercantum dalam bungkus tersebut. Sesederhana itulah kita belajar dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada yang merasa rumit.

Sebegitu gampangnya cara belajar yang dapat dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi banyak yang tidak menyadari hal itu. Banyak dari mereka masih beranggapan bahwa belajar itu hanya bisa dilakukan di sekolah, di dalam kelas, ataupun di tempat kursus. Akan tetapi anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan, belajar di dalam kelas, jika dihitung dengan presentase hanyalah tidak lebih dari dua puluh lima persen saja dari waktu kita. Lah yang sisanya kemana? Sisanya didapat di luar sekolah. Tetapi itu, kiranya sangat sulit didapatkan, karena dari awal pola pikir sebagian orang sudah terarahkan kearah “monoton” bahwa belajar hanya dapat dilakukan di sekolah, atau di lembaga-lembaga pendidikan lain -yang bersifat nonformal-. Jika anda termasuk didalamnya, maka anda harus segera mengubah pola pikir yang sedemikian itu.

Akhir-akhir ini, sering sekali didengung-dengungkan mengenai literasi. Literasi harus harus dilakukan di sekolah-sekolah, baik sekolah formal maupun sekolah nonformal.  Walapun sebenarnya literasi itu masih banyak yang samar dalam mengartikannya. Pondok pesantren menjadi salah satu basis literasi -yang masih memegang saham besar- dalam praktik/proses literasi itu sendiri.

Literasi bukan hanya sekedar membaca buku dan memahami isi dari apa yang dibaca, tapi juga merupakan kemampuan, bagaimana cara mengomunikasikan apa yang telah dibaca dalam bentuk tulisan dan lisan. Itu semua telah terajarkan di pondok pesantren, melalui kegiatan musyawarah, khitobiyah, dan kegiatan-kegiatan lain –yang mengharuskan santri untuk mengomunikasikan apa yang telah didapatkan dari kegiatan literasi yang pernah dilakukan-. Hanya saja belakangan ini, intensitas -untuk berliterasi- sedikit terasa menurun, sehingga perlu ditingkatkan lagi.

Perlu sinergi dari berbagai pihak yang berkait dengan kegiatan literasi yang baik. Mulai dari penyiapan sarana dan prasarana untuk menunjang semua itu. Karena berkarya dalam sebuah kekurangan itu ibaratkan, seekor burung kicauan yang di tempatkan dalam sangkarnya. Tapi jika mampu melampaui keterbasan itu, maka hasil yang dicapai akan lebih dari yang dibiarkan bebas. Di alam liar tidak ada burung-burung –khusus- yang bisa berkicau dengan suara-suara yang menyerupai aktivitas manusia. Itu semua didapat dari latihan semasa di dalam sangkar bukan di alam liar.

Beberapa waktu wacana tentang FDS (Full Day School/Full Day School) tiba-tiba mencuat menimbulkan banyak polemik yang berkepanjangan. Banyak pihak yang menentang kegiatan tersebut dengan berbagai alasan. Kalau mau berpikir, sebenarnya pondok pesantren sudah sejak lama menerapkan kebijakan mengenai full day school. Kalau FDS yang ada di sekolah-sekolah umum pembelajaran dimulai dari pukul tujuh pagi sampai pukul lima sore, di pondok pesantren telah menerapkan pembelajaran selama dua puluh empat jam, tapi itu tidak menimbulkan polemik di dalamnya. Fenomena itulah yang terjadi. Masih banyak orang-orang di luar sana, yang kurang mengetahui tentang keunggulan pondok pesantren dibanding dengan sekolah umum. Pondok pesantren bukan hanya mencetak generasi-generasi yang agamis tapi juga mencetak pribadi-pribadi yang berakhlak dan berilmu.

Belajar sebenarnya, tidak serumit dengan apa yang terbayangkan. Kalau melihat orang tua-tua terdahulu bisa sangat mudah mendidik anaknya dan membuat anaknya sukses di masa depan, pasti yang terbayang yaitu pendidikan yang sangat rumit. Padahal, itu sangat berbanding terbalik orang tua dulu mendidik anaknya dengan cara yang unik. Unik karena prioritas pendidikan anak-anak mereka pada pendidikan yang mengarah pada perbaikan akhlak dan sikap, bukan hanya pada pengetahuan saja. Berbeda dengan pendidikan yang terjadi pada saat ini, yang dititikberatkan pada hasil pengetahuan, bukan pada bagaimana menghasilkan generasi yang berakhlakul karimah. Orang tua dulu mendidik anaknya sangat sederhana, sesederhana kehidupan yang dijalani.

Pernah suatu ketika ketika masih SD, saat sedang enak-enaknya menikmati sarapan sambil duduk di depan pintu, tiba-tiba ada gayung melayang menimpa kepala saya, ketika menoleh saya mendapati ibu sedang berkacak pinggang sambil melotot ke arahku yang sedang kebingungan. Kemudian beliau berkata dalam bahasa Jawa, “cah joko ojo mangan na lawang, gak apik” (anak perjaka/perawan jangan makan di depan pintu). Beliau tidak menjelasakan apa maksud dari perkataanya tadi. Tanpa saya paham dengan apa yang dikatakan, saya langsung berdiri dan pindah duduk dan melanjutkan makan. Tapi memang begitulah orang tua, sering mengajarkan hal yang sederhana, tetapi bisa langsung mengena dan pas menyentuh sesuatu yang paling mendasar dalam kehidupan yaitu perubahan akhlak ke arah yang lebih baik. Selang beberapa tahun, setelah peristiwa itu, saya baru memahami apa yang dimaksutkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh ibu tempo hari masalah perjaka tidak boleh makan di depan pintu, setelah saya mendengar penjelasan dari guru saya. Maksud dari perkataan beliau tempo hari yaitu, kamu itu bagaikan barang dagangan, jadi jagalah harga dirimu dengan tidak makan di depan pintu, karena menurut orang jawa, makan di depan pintu dapat mengurangi harga diri.

Begitu sederhana yang diajarkan, tapi makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam, dan mengena. Memang seperti itulah orang tua dahulu. Adalagi yang unik dari pendidikan orang tua zaman dahulu, yaitu ketika ada anaknya memanjat pohon yang tinggi, orang tua tidak akan marah-marah dan segera untuk menyuruh anaknya turun. Tapi sebaliknya orang tua akan menyuruh anaknya untuk memanjat lebih tinggi lagi. Jika anak itu peka dan mau berpikir, maka saat orang tua sudah bilang begitu, si anak akan segera turun, karena makna yang sebenarnya bukan menyaruh anak itu untuk naik lebih tinggi, tapi menyuruh anak itu untuk segera turun dengan cara yang lebih halus.

Kalau mau berpikir secara logis, sebenarnya belajar bukanlah hal yang rumit, melainkan hal yang sangat menyenangkan dan sederhana. Di pesantren semua itu telah diajarkan kepada santri, hanya saja bagaimana santri itu menyikapinya. Dan juga, harus memiliki kesadaran terhadap diri sendiri untuk belajar. Jika itu semua tidak ditumbuhkan, maka akan sia-sia hal yang dilakukan. Sebaik apapun metode pembelajaran yang digunakan, jika tidak diimbangi dengan rasa ingin belajar yang kuat, maka hasilnya akan sama saja. Oleh karena itu, mulai dari awal tumbuhkan rasa minat untuk belajar, karena sebenarnya, belajar tidaklah serumit yang dibayangkan.