Sering kita mendengar kata-kata, kowe mondok arep dadi opo?. Memang itulah realita  yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Mondok sering dianggap suatu hal yang remeh oleh sebagian masyarakat. Masyarakat masih sering mengukur kesuksesan seseorang dari segi finansial dan Jabatan fungsional. Banyak orang yang beranggapan jika mondok itu tidak bisa menjadi apa-apa. Sehingga banyak dari kalangan masyarakat ingin putra/putrinya masuk ke sekolah Negeri saja. Pemikiran mereka, jika anaknya sekolah di sekolah negeri, atau sekolah swasta yang berkualitas, nanti anaknya akan sukses dan menjadi orang yang siap dalam menghadapi kehidupan di masa depan. Namun tidak demikian pada kenyataannya. Banyak dari anak-anak mereka (dengan predikat prestasi akademis yang mentereng) justru malah menganggur ketika sudah lulus sekolah, bahkan tak sedikit dari mereka yang terjerumus kepada hal-hal yang tidak berguna, melanggar norma, dan menjadi nekat demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal pada hakikatnya, ilmu agama menjadi suatu yang sangat penting dalam kehidupan, dan ilmu akademis hanyalah sebagai penunjang ilmu agama.

Di era globalisasi seperti ini, sangatlah beruntung para orang tua yang memondokkan anaknya di pondok pesantren.  Di tengah maraknya pergaulan bebas, narkoba yang merajalela, para santri-santri pondok bisa terhindar dan terlindungi dari itu semua. Walapun tidak semuanya bisa memproteksi, paling tidak dapat menghindarkan anak agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang sifatnya negatif. Sebagian masyarakat mungkin belum tahu, bahwa banyak dari pondok pesantren kini sudah lebh maju, modern, dan dilengkapi dengan banyak tekhnologi kekinian.

Ada yang mengatakan santri itu multitalent, sebab apa? Karena santri itu memiliki semua skill yang dibutuhkan untuk hidup. Selain itu, para santri juga dididik dan dilatih hidup bermasyarakat. Sebab dipesantren itu bukan hanya satu karakter saja, akan tetapi banyak sekali orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Saling teloransi, saling menghargai, mereka dididik untuk hidup rukun dan berdampingan dalam satu ruang yang sama.

Sebenarnya kehidupan di pondok merupakan refleksi kehidupan nyata dalam bentuk yang lebih kecil -dari kehidupan bermasyarakat-. Mengapa demikian? Karena ketika di pondok kita akan menjumpai orang yang memiliki sifat yang berbeda-beda, itu pun juga akan berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu di pondok pesantren juga mencetak generasi yang pintar dan juga benar, bukan hanya pintar tadi tindak lakunya yang kurang benar. Pun juga bukan hanya mencetak orang yang benar saja tapi tidak pintar. Pondok pesantren adalah alternatif terbaik untuk mewujudkan keduanya, selain benar juga pintar.

Banyak orang tua yang mengeluhkan masalah biaya untuk memondokkan anaknya. Sebenarnya biaya  bukanlah menjadi suatu alasan untuk menghalangi kita memondokkan anak kita ke pesantren. Sederhana saja, mereka merasa keberatan jika harus mengeluarkan biaya untuk memondokkan anaknya, tapi anehnya jika harus mengeluarkan biaya untuk membayar kredit sepeda yang sampai jutaan merasa tidak keberatan.

Pernah suatu ketika, saya bertemu dengan seorang yang memondokkan anaknya, beliau berkisah, jika beliau sempat ragu untuk memondokkan anaknya, karena pendapatannya yang minim. Beliau hanya mendapatkan pendapatan pokok dari mengajar ngaji sebesar seratus lima puluh ribu rupiah per bulannya. Sedangkan biaya spp per bulan dan uang saku dari anaknya saja sudah sampai satu juta. Kalau secara logika itu semua tidak masuk akal, pasti akan defisit banyak sekali. Akan tetapi, -masih dalam penuturan Beliau- ada saja rejeki yang datang untuk mempermudah beliau dalam membantu menyelesaikannya. Bahkan setelah membiayai anaknya di pondok, kini beliau telah memiliki lembaga sendiri dengan ratusan santri. Pedoman beliau jika niat kita memondokkan anak adalah hal baik, maka Allah tidak akan segan untuk membantu memudahkannya. Selain itu beliau juga memiliki keyakinan bahwa siapa yang ikut memperjuangkan agama Allah maka Allah tidak akan membiarkannya dan keluarganya kelaparan. Subhanallah.

Bila dilihat dari kisah tadi, semua itu tidak akan masuk akal kita. Tapi semua itu berjalan sesuai realita yang ada, bahwa beliau mampu memondokkan anaknya dan mencukupi kebutuhan keluarganya dengan gaji yang sangat minim. Hal yang musthail menjadi hal yang nyata dan benar.

Menjadi santri bukanlah hal yang memalukan, walaupun dia hanya sarjana (sarungan saja ke mana-mana) itu bukan menjadi sebuah hambatan untuk terus berkarya dan membawa nilai progresif dalam kehidupan. Santri itu memiliki sifat yang tahan banting, mengapa demikian? karena santri bisa kuat dan tangguh dalam menghadapi kehidupan yang selalu berubah-ubah. Sejak awal mondok santri tidak hanya diajari tentang pelajaran formal dan keilmuan agama saja, tapi juga diajari tentang kehidupan dan bagaimana cara menyikapinya.

Peran orang tua dalam proses memondokkan anaknya tidak hanya sekedar mengantarkan anaknya ke pondok dan juga membiayai anaknya di pondok. Tapi orang tua juga memiliki peran yang urgen dalam proses mondoknya anak. Sukses tidak anak yang mondok tergantung seberapa besar orang tuanya di rumah mau tirakat dan ikut membantu mendoakan anaknya agar mendapat ilmu yang bermanfaat dan berkah. Dan juga agar anaknya menjadi anak yang berguna. Selain banyak mendoakan anaknya dari rumah, orang tua juga harus sering bersilaturahim ke pengasuh untuk semakin menambah keberkahannya. Pernah suatu siang saya di cerita dawuhi guru saya, cung akeh wong tuwo bodo tapi anaknya banyak yang jadi kiyai, kerono opo, yo kerono roso senenge marang kiyai. Memang kelihatan sederhana tapi itu juga akan membawa dampak langsung maupun tidak langsung yang sangat besar terhadap kesukesan anak di masa depan kelak.

Ketika awal memondokkan anak, orang tua harus memiliki niat yang baik untuk memondokkan anaknya. Karena niat yang baik juga akan membawa hal yang baik. Selain niat orang tua, niat anak untuk mondok juga tidak kalah penting. Sebagian santri yang gagal, dikarenakan niat anak yang kurang teguh, atau berseberangan dengan niat orang tua. Niat orang tua memondokkan anak memang baik, tapi jika itu berseberangan dengan niat anak maka akan menghasilkan out put yang kurang baik juga. Saat anak tidak ingin mondok tapi orang tua tetap memaksakan anaknya untuk mondok maka anak terebut akan sangat merasa tertekan. Kebanyakan santri yang “mondoknya terpaksa” akan merasa ngalem, dan kebanyakan dari mereka menyalurkan ke arah yang negatif. Seolah mereka malah meningkatkan kenalakannya agar bisa diboyong. Tidak sedikit memang orang tua santri ingin menata putra-putrinya yang nakal dengan memasukkan ke pondok pesantren. Maka pengertian yang benar, perlu ditanamkan pada diri anak, dengan terus memberikan support do’a dari rumah, fainsya Allah akan membaik. Jadi, sangat penting menyelaraskan niat orang tua untuk memondokkan anaknya dengan niat yang benar pada anak untuk mondok. Jika dua hal tersebut sudah selaras dan sejalan, maka insya Allah menghasilkan output yang baik kelak di kemudian hari.

 

Awal mondok santri akan diuji kesabaranya dengan penyakit yang lumayan membuat kita menjadi jijik, yaitu penyakit gatal atau dalam bahasa populernya gudik bagi santri laki laki, dan tumo (kutu rambut) bagi santri perempuan. Bahkan ada yang menyebutkan laa yusamma santri illa bila gudik wa tumo. Itu hampir berlaku di seluruh pondok pesantren baik yang tradisional maupun yang modern. Biasanya itu hanya berlaku setahun untuk menguji kesabaran santri yang menuntut ilmu, jika dia sabar menghadapi itu maka dia akan bertahan dan jika santri tidak sabar maka akan pulang (boyong). Tapi fakta di lapangan menunjukan data yang sama, jadi bagi anak-anak baru yang baru mondok mereka akan mengalami sakit gudik itu selama satu tahun, walaupun diobatkan ke mana-mana jika belum satu maka gudik itu belum mau pindah dari tubuh santri. Jika sudah lebih dari satu tahun maka gudik itu akan  pindah dengan sendirinya, itu terbukti pada kakak-kakak kelas mereka. Para kakak kelas mereka setelah satu tahun mondok ternyata gudiknya sembuh. Wallahua’lam.

Selain itu, santri juga diajak berlatih untuk hidup miskin, bukan berarti berharap menjadi miskin, hanya saja untuk melatih jika memang  kondisi itu benar-benar benar terjadi. Hanya dengan makan nasi liwet dan sambel korek, santri sudah bisa menjadi kenyang. Santri itu makannya tidak rewel, karena santri sejak mondok sudah dilatih untuk hidup qona’ah (nrimo ing pandum), apa yang ada ya itu yang dimakan. Banyak kisah-kisah yang dituturkan di pondok-pondok pesantren mengenai kiyai-kiyai yang memiliki kharismatik dan juga memiliki ribuan santri. Yang dahulunya ketika mondok sangat merasa sengsara hanya dengan makan kulit semangka, bahkan ada yang hanya makan tiga hari sekali. Tapi itu semua membuat beliau-beliau itu menjadi orang yang berpengaruh dikemudian hari. Santri harus berani hidup sengsara dan harus berani tirakat demi mendapat ilmu yang berkah. Karena ilmu bukan hanya harus manfaat tapi juga harus berkah agar membawa kebaikan hidup.

 

Hari ini Indonesia dipimpin oleh Pak Jokowi dan wakilnya K.H. Ma’ruf Amin, beliau dulunya juga seorang santri pondok pesantren, dulu sekitar akhir tahun 90-an, Indonesia pernah dikepalai oleh Gus Dur, beliau juga santri. Kini Jawa Timur dipimpin oleh ibu Khofifah Indar Parawansa, beliau juga seorang santriwati. Bahkan juga, Tuban sekarang, masih dipimpin seorang santri yaitu K.H. Fathul Huda, beliau juga seorang santri. Jadi, jika masih ada yang bertanya kepada kamu mondok arep dadi opo?, jawab dengan keras aku biso dadi presiden, iso dadi wakil presiden, iso dadi gubernur, iso dadi bupati. Oleh karena itu, jangan malu menjadi santri, santri bisa menjadi apa saja yang dia inginkan dan yang dia minati.

(CE.Ad)

 

 

baca juga artikel terbaru disini… 

dan kunjungi chanel Youtubenya disini