Faham Asy’ariyyah wa Māturidiyyah dalam pandangan mayoritas adalah faham bagi firqah Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masalah aqidah.
Mengapa saya awali dengan pernyataan demikian? Karena belakangan pengklaiman atas istilah “ahlussunnah wal jama’ah” dilakukan oleh banyak firqah.
Oleh karena itulah dalam beberapa tulisan bisa dimaklumi jika misalnya saya membahas aqidah, maka saya menggunakan perspektif Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Dasarnya adalah keterangan dari Muallif kitab “Ittihāf Sādah al Muttaqīn” syarah kitab “Ihyā ‘Ulūmiddīn”, karya Sayyid Murtadla az Zabidi:
إذا أطلق أهل السنة فالمراد به الأشاعرة والماتريدية _ اتحاف سادات المتقين ج ٦ ص ٦
“Apabila disebut ‘Ahlussunnah’ maka yang dimaksud dengan ucapan itu adalah firqah ‘Asy’ariyyah dan Māturīdiyyah.”
Yang mungkin perlu dikaji kembali bahwa istilah “ahlussunnah wal jama’ah” bukan dalam masalah ‘aqidah dan ilmunya yang disebut ilmu ushuluddin atau ilmu Tauhid saja, bahkan merambah pada masalah furu’ (fiqih) dan tashawwuf.
- MAKNA AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Pengertian ahlussunnah wal jama’ah menurut para Ulama sebagai berikut:
a. Dari segi lafadz, kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan:
لفظ مركب مستعمل كلي
“Lafadz yang tersusun yang digunakan secara umum.”
Lafadznya terdiri dari tiga kata: ahlu (أهل), sunnah (سنة), dan jama’ah (جماعة). Dari beberapa sumber kata “Ahlu”, dalam bahasa terkadang diartikan keluarga, pengikut, penduduk atau apapun yang sifatnya menjadi sebuah kelompok khas yang didasarkan pada kesamaan dalam nama, tempat, sifat, dan tujuan. Atau bisa juga berarti “tukang” dan keahlian. Kata sunnah secara bahasa ada yang mendefinisikan:
شأن الرجل وسيرته
“Keadaan seseorang dan biografinya.”. Sementara istilah sunnah menurut ahli Hadits:
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعاله وتقريراته
” Sabda-sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, semua perbuatannya, dan semua ketetapannya.”
Dan al jama’ah memiliki arti al Jam’u (الجمع), yang artinya mengumpulkan atau kumpulan.
Sementara menurut istilah:
فالسنة ما سنه رسول الله صلى الله عليه وسلم والجماعة ما اتفق عليه أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم في خلافة الأئمة الأربعة الخلفاء الراشدين المهديين رحمة الله عليهم أجمعين _ الغنية للسيد الشيخ عبد القادر الجيلاني ج ١ ص ٨٠
“As sunnah adalah apa yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, dan al Jamā’ah adalah apa yang disepakati para sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam pada masa kekhalifahan para al Khulafā’ ar Rāsyidīn yang semuanya diberi petunjuk, semoga rahmah Allah kepada mereka semua.”
Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadlratusysyekh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Ziyādāt Ta’līqāt halaman 23-24 mendefinisikan:
أما أهل السنة فهم أهل التفسير والحديث والفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطائفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون والمالكيون والحنبليون
“Adapun ahlussunnah wal jama’ah adalah ahli tafsir, hadits, dan fiqih. Maka mereka yang mengambil petunjuk dan berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para al Khulafā’ ar Rāsyidīn, dan merwka adalah Firqah Najiyyah (selamat). Mereka mengatakan bahwa kelompok tersebut terhimpun dalam madzhab yang empat: Pengikut Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanbaliyyah (Hanābilah).”
Ada pula yang mendefinisikan:
الفرقة الذين يجتمعون على اتباع أثره صلى الله عليه وسلم وصحابته من أصول الشريعة فى النقير والقطمير ولم يبتدعوا بالتحريف والتغيير _ القول المفيد في بيان الاجتهاد والتقليد [باللغة السونداوية] للشيخ محمد صحيح المصطفى ص ٢١
“Firqah (golongan/aliran) yang berkumpul bersama dalam mengikuti jejak Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya dalam pokok-pokok syari’at (hingga) pada masalah yang halus dan samar, dan tidak melakukan bid’ah dengan mengubah (kalimat dalil hukum syara dan hukum-hukumnya).”
- URGENSI BERMADZHAB
Berdasar kepada makna ahlussunnah wal jama’ah tentunya dari segi histori dan waktu sampainya cara mengikuti (ittibā’) sunnah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya itu berlangsung secara berkesinambungan dari zaman ke zaman sehingga tetdapat mata rantai sanad yang akan menghubungkan umat generasi saat ini (zaman ‘now’) dengan generasi pendahulu sampai generasi salaf.
Dan dalam realitas pendapat para ulama dari zaman ke zaman terkadang ditemukan masalah-masalah ijtihadi yang harus diproses dan dicari produknya dari dalil-dalilnya. Ternyata tidak semua orang diberi kemampuan dalam memproses dan memecahkan masalah ijtihadi tersebut di atas karena diperlukan kemampuan mengistinbath hukum dan ketetapan dari dalil-dalil yang tafshili baik al Qur’an, al Hadits, maupun dari dawuh para sahabat dan tabi’in saat kondisi belum dikodifikasikan dan di dlabitkan.
Maka di sinilah ada peran mujtahid muhtlaq yaitu mereka yang mampu memproses dari dalil menjadi keputusan hukum syara’ yang belum pernah di dlabitkan dan belum terkodifikasikan (ditadwinkan). Tetapi sekali lagi tidaklah semuanya mampu menjadi mujtahid walaupun sudah dipandang sebagai ulama mengingat syarat-syaratnya menjadi mujtahid itu berat, apalagi menjadi mujtahid muthlaq. Maka mereka yang tidak mampu tentu harus mengikuti pendapat para mujtahid, itulah yang disebut golongan muqallid, orang yang taqlid terhadap pendapat mujtahid yang tentunya bagi para ulamanya bukan taqlid buta tetapi bertaqlid dengan memahami referensi para mujtahid.
Dan sekelompok orang pada masa kini tidak setuju dengan istilah taqlid karena bagi mereka yang disebut taqlid itu pasti membabi buta dan menurut mereka jika kondisinya seperti itu harus diistilahkan dengan istilah ittiba’. Walaupun secara harfiyyah artinya sama yaitu ‘mengikuti orang lain’.
Karena berlangsung dari zaman ke zaman yang panjang, pendapat para mujtahid itu ada yang dilestarikan oleh pengikutnya dan ada yang terputus sehingga pendapat utuhnya tidak sampai ke generasi saat ini.
Nah, kumpulan pendapat mujtahid itulah yang kemudian diistilahkan dengan madzhab. Dan mengambil pendapat para mujtahid dikategorikan dengan bermadzhab.
Definisi madzhab adalah:
المجموعات من محصولات فهم المجتهد _ القول المفيد في بيان الاجتهاد والتقليد ص ٣
“Semua kumpulan yang diambil dari berbagai hasil pemahaman mujtahid.”
Sedangkan yang dimaksud bermadzhab:
التزام غير المجتهد مذهبا معينا يعتقده أرجح أو مساويا لغيره _ جمع الجوامع للإمام تاج الدين السبكي ج ٢ ص ١٢٣
“Berpegang teguhnya orang yang selain mujtahid kepada madzhab tertentu yang diyakininya lebih kuat atau setara dengan selainnya.”
Ringkasnya, adanya ketentuan taqlid dengan bermadzhab dalam furu’ dan ushul agama serta tashawwuf dikarenakan tidak semua orang bisa melakukan ijtihad yang dilakukan oleh Mujtahid Muthlaq. Seandainya ada yang mampu melakukannya dalam posisi mujtahid muthlaq malah haram baginya bermadzhab kepada mujtahid mutlak yang lain, tapi saya kira untuk zaman sekarang tidak mungkin ada yang mampu memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid muthlaq. Maka, disinilah letaknya urgensi bermadzhab yaitu mengikuti pendapat mujtahid dalam ilmu dan amal. Tidak mengikuti pendapat pribadi yang tentunya akan memiliki banyak kecacatan dalam segi kemampuan dan keilmuan.
Dalam suatu ‘ibarah tentang taqlid dengan bermadzhab dalam kategori furu’ agama:
ويجب على من لم يكن فيه أهلية الاجتهاد المطلق أن يقلد فى الفروع واحدا من الأئمة الأربعة المشهورين – إلى أن قال – ولا يجوز تقليد غير هؤلاء الأربعة من باقى المجتهدين فى الفروع مثل الإمام سفيان الثوري وسفيان بن عيينة وعبد الرحمن بن عمر الأوزاعي ولا يجوز تقليد واحد من أكابر الصحابة لأن مذاهبهم لم تضبط ولم تدون وأما من فيه أهلية الاجتهاد المطلق فإنه يحرم عليه التقليد _ نهاية الزين في إرشاد المبتدئين ص ٧
“Wajib bagi yang tidak memiliki kemampuan ijtihad muthlaq untuk bertaqlid dalam masalah furu’ (fikih) kepada salah satu dari imam empat yang masyhur – sampai mushannif berkata – Dan tidak boleh taqlid kepada selain imam yang empat dari selebihnya para mujtahid dalam furu’ seperti Imam Sufyan ats Tsauri, Imam Sufyan bin ‘Uyainah, dan Imam al Auza’i, dan juga tidak boleh taqlid kepada salah satu dari para pembesar sahabat Nabi KARENA MADZHAB MEREKA SEMUA TIDAK DLABITH DAN TIDAK TERKODIFIKASI. Dan adapun bagi yang memiliki kemampuan ijtihad mutlak maka baginya diharamkan taklid (dengan kata lain dilarang bermadzhab)”
Itulah sebabnya ketika madzhab fikih yang lestari hanya empat madzhab, secara ijma’ ditetapkan agar dalam masalah furu’ hanya boleh kepada al madzāhib al arba’ah (madzhab yang empat), yaitu: Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Sementara madzhab yang lainnya yang sebenarnya pernah tercatat eksistensinya pada sejarah tidak ada yang berkembang secara utuh kecuali pendapat-pendapat berserakan yang tidak tersistemkan bahkan putus riwayat dan lenyap keputusan utuh madzhabnya entah ke mana.
Selanjutnya bagi masyarakat awam tentang masalah taklid dalam fikih sebenarnya mereka tidak harus mengerti sampai seluk beluk dari proses hingga menjadi produk hukumnya, kardna hal itu merupakan tugas para ulama yang memiliki spesialisasi tentang hal itu.
Perkembangan sejarah madzhab menurut Imam adz Dzahabi (w. 748 H) sebagai berikut:
وَكَذٰلِكَ اشْتُهِرَ مَذْهَبُ الأَوْزَاعِيِّ مُدَّةً، وَتَلاَشَى أَصْحَابُهُ، وَتَفَانَوْا. وَكَذَلِكَ مَذْهَبُ سُفْيَانَ وَغَيْرِهِ مِمَّنْ سَمَّيْنَا، وَلَمْ يَبْقَ اليَوْمَ إِلاَّ هَذِهِ المَذَاهِبُ الأَرْبَعَةُ … وَانْقَطَعَ أَتْبَاعُ أَبِي ثَوْرٍ بَعْدَ الثَّلاَثِ مائَةٍ، وَأَصْحَابُ دَاوُدَ إِلاَّ القَلِيْلُ، وَبَقِيَ مَذْهَبُ ابْنِ جَرِيْرٍ إِلَى مَا بَعْدَ الأَرْبَعِ مائَةٍ _ سير أعلام النبلاء للإمام الذهبي ج ٨ ص ٨٢
“Demikian pula mazhab al Awza’i sempat masyhur dalam masa tertentu, namun penganutnya sedikit demi sedikit berkurang hingga tiada terdengar lagi. Demikian pula mazhab Sufyan dan lainnya. Hingga tiada tersisa saat ini kecuali empat mazhab saja (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)… Sementara mazhab Abu Tsaur juga hilang setelah abad ke 3 H, demikian pula penganut mazhab Dawud adz Dzahiri kecuali sedikit yang tersisa. Adapun mazhab Ibnu Jarir, hanya bertahan beberapa masa setelah abad ke 4 H.”
Nah, seperti itulah kajian historisnya sehingga madzhab dalam fiqih di kalangan ahlussunnah wal jama’ah dibatasi dengan madzhab yang empat.
Sahabatku seperti itulah ringkasnya bermadzhab dalam fikih. Perlu diketahui, untuk memahami istilah ijtihad, mujtahid taqlid, muqallid, dan madzhab dalam fikih serta segala rincian dan seluk beluknya adalah harus mengerti ilmu ushul fiqih. Dan diperlukan pula pendukung lainnya seperti mempelajari ilmu Qawa’id Fiqhiyyah.
Adapun masalah bermadzhab dalam Ushuluddin (Aqidah keimanan) tentunya berbeda dengan bermadzhab dalam furu’ (fikih), bermadzhab dalam aqidah diharuskan bagi setiap mukallaf agar mengerti dalil-dalil aqidah keimanan walau ijmali (secara global), adapun dalil tafshil yang rinci sampai pada masalah من غوامض علم الكلام , yang termasuk hal-hal rumit dalam ilmu kalam adalah fardlu kifayah bahkan tidak dianjurkan untuk mendalami dalil tafshili bagi yang tidak memiliki keahlian.
Dalam ilmu tauhid sebagian ulama tidak memperbolehkan taqlid dalam aqidah, tetapi harus mengetahui dalil-dalilnya. Dan ada yang memperbolehkan.
Maksudnya masalah taqlid dalam ilmu ushuluddin yang terkadang dinamai ilmu kalam atau ilmu tauhid merupakan masalah khilafiyyah. Terdapat pendapat yang menetapkan taqlid dalam ilmu Tauhid menyebabkan tidak sah iman dan nanti kekal dalam neraka. Ada yang menetapkan sah karena yang dibutuhkan adalah ikrarnya (kekokohan keyakinannya) meskipun tanpa dalil. Hanya saja taqlid dalam ilmu tauhid bila sebenarnya seseorang yang taqlid itu masih mampu untuk melakukan nadhar (نظر) dan belajar mengenai dalil-dalil aqidah maka menurut pendapat ke dua bahwa imannya sah tetapi durhaka, sementara tidaklah durhaka bila memang tidak mampu nadhar dan belajar mengenai dalil-dalil akidah keimanan.
Dalam sebuah ‘ibarah:
ولا تكن ممن قلد في عقائد الدين فيكون إيمانك مختلفا فيه فتخلد فى النار عند من يقول لا يكفى التقليد، قال السنوسي وليس يكون الشخص مؤمنا إذا قال أنا جازم بالعقائد ولو قطعت قطعا قطعا لا أرجع عن جزمي هذا بل لا يكون مؤمنا حتى يعلم كل عقيدة من هذه الخمسين بدليلها وتقديم هذا العلم فرض كما يؤخذ من شرح العقائد لأنه جعله أساسا ينبني عليه غيره فلا يصح الحكم بوضوء الشخص أو صلاته إلا إذا كان عالما بهذه العقائد أو جازما بها على الخلاف في ذلك _ كفاية العوام ص ٢٤ – ٢٥
“Janganlah kamu termasuk orang yang taklid dalam aqudah-aqidah agama, lalu ada imanmu mukhtalaf (diperselisihkan) di dalamnya dan lantas kamu kekal di neraka menurut orang yang tidak mencukupkan taqlid. Imam as Sanusi berkata, ‘Seseorang tidaklah ada sebagai mukmin jika ia berkata: aku orang yang kokoh keyakinan terhadap aqidah walaupun aku dipotong berkeping-keping maka aku tidak akan meninggalkan keyakinanku. Bahkan ia tidak ada sebagai mukmin HINGGA mengetahui setiap aqidah yang 50 beserta dalilnya. Mendahulukan ILMU TAUHID ini adalah FARDLU sebagaimana diambil dari kitab Syarh al ‘Aqāid, karena ia telah menjadikannya sebagai asas yang sesuatu yang selain asasnya terbentuk berdasarkan asas itu. Maka belumlah sah wudlu dan shalat seseorang KECUALI JIKA IA BERADA SEBAGAI ORANG YANG MENGETAHUI TERHADAP AQIDAH INI ATAU YANG JAZIM TERHADAP AQIDAH BERDASARKAN (PENDAPAT LAIN) YANG BERBEDA DALAM MASALAH ITU.”
Intinya dalam ilmu Tauhid dan beraqidah seharusnya mengerti pula dalil-dalil aqidah tersebut secara yakin yang diistilahkan harus ma’rifat dalam bertauhid berdasar ilmu yang yakin. Salah satu alasannya bila meyakininya beserta dalil maka dia keluar dari ranah khilafiyyah dan masuk kategori yang disepakati oleh ke dua kelompok di atas. Karena bila beraqidah tanpa mengetahui dan mendatangkan dalilnya merupakan khilaf Ulama, ada yang mengatakan sah imannya dan ada yang mengatakan tidak sah imannya.
Sahabatku, nah mengerti dalil-dalil aqidah yang benar itu adalah apabila aqidahnya sesuai dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sahabatku, yakin tanpa ada keraguan sedikit pun merupakan anugerah Allah yang hendak menjadikan seseorang mendapat kebajikan.
Dalam sebuah referensi:
(خاتمة المجلس)
جاء فى الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال إذا أراد الله بعبده خيرا سلك في قلبه اليقين والتصديق وإذا أراد به شرا سلك في قلبه الريبة قال الله تعالى فمن يرد الله أن يهديه يشرح صدره للإسلام ومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيقا حرجا وقد اتفق أهل السنة من المحدثين والفقاء والمتكلمين على أن المؤمن الذي يحكم بأنه من أهل القبلة ولا يخلد فى النار لا يكون إلا من اعتقد بقلبه دين الإسلام اعتقادا جازما خاليا من الشك ونطق بشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله _ المجالس السنية فى الكلام على الأربعين النووية للشيخ أحمد بن الشيخ حجازي الفشني ط. طه فوترا سماراغ ص ١٧
“[Penutup Majlis] Telah datang dalam sebuah hadits, dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersabda, ‘Jika Allah menghendaki kebaikan kepada hambaNya, maka Allah memberikan jalan (menanamkan) keyakinan dan tashdiq (membenarkan apa yang telah sampai dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam). Dan barangsiapa yang Allah menghendaki untuk menyesatkannya, maka Allah menjadikan keraguan dalam kalbunya.’
Dan Firman Allah:
فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَا مِ ۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا …
‘Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, …’ (Q.S. Al-An’am [6]: Ayat 125)
Dan sungguh ahlussunnah dari para ahli hadits, ahli fikih, dan ahli ilmu kalam telah bersepakat bahwasannya seorang mukmin yang ditetapkan sebagai ahlul qiblat dan tidak kekal di neraka, tidaklah ada kecuali seseorang yang beri’tiqad agama Islam dengan kalbunya dengan i’tiqad yang jazim (yakin 100℅) yang kosong dari keraguan serta ia mengucapkan Lā ilāha illalLāh Muhammadur rasūlulLāh.”
Saya sempat mencari referensi hadits pada ‘ibarah tersebut ternyata tertulis dalam kitab al Istidzkār buah karya Imam Ibnu Abdil Barr, disebutkan:
وفي الحديث المرفوع إذا أراد الله (عز وجل) بعبد خيرا سلك في قلبه اليقين والتصديق وإذا أراد الله (عز وجل) بعبده شرا سلك في قلبه الريبة والتكذيب وقال الله عز وجل [* (كذلك نسلكه في قلوب المجرمين لا يؤمنون به) * [الحجر ١٢ – ١٣] وقال الله عز وجل ” فمن يرد الله أن يهديه يشرح صدره للإسلام ومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيقا حرجا [الأنعام ١٢٥]، ويهدى من يشاء ” [النحل ٩٣] _ الاستذكار لابن عبد البر ج ٨ ص ٢٦٣
“(Tersebut) dalam hadits marfū’: ‘Jika Allah ‘Azza wa Jall menghendaki kebaikan kepada hambaNya, maka Allah ‘Azza wa Jall memberikan jalan (menanamkan) keyakinan dan tashdiq (membenarkan apa yang telah sampai dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam). Dan barangsiapa yang Allah menghendaki untuk menyesatkannya, maka Allah menjadikan keraguan dan mendustakan (kufur) dalam kalbunya.’ Firman Allah:
كَذٰلِكَ نَسْلُكُهٗ فِيْ قُلُوْبِ الْمُجْرِمِيْنَ ۙ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۚ
‘Demikianlah, Kami memasukkannya (olok-olok itu) ke dalam hati orang yang berdosa. Mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an) …’ (Q.S. Al-Hijr [15]: 12-13).
Dan Firman Allah:
فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَا مِ ۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا …
‘Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, …’ (Q.S. Al-An’am [6]: Ayat 125)
Firman Allah:
وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ
‘… dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki…’ (Q.S. An-Nahl [16]: 93)
Selanjutnya, begitu pun dalam bertashawuf diharuskan mengikuti salah satu imam dari para imam shufi.
Syekh Nawawi al Bantani berkata:
ويجب على من ذكر أن يقلد في علم التصوف إماما من أئمة التصوف كالجنيد، وهو الإمام سعيد بن محمد أبو القاسم الجنيد سيد الصوفية علما وعملا رضي الله عنه _ نهاية الزين ص ٧
“Dan wajib kepada orang yang telah disebutkan agar bertaqlid dalam ilmu tashawwuf kepada salah satu imam tashawwuf seperti Imam al Junaid, beliau adalah Imam Sa’id bin Muhammad Abul Qāsim al Junaid sayyidnya para Shufi dalam hal ilmu dan amal semoga Allah meridlainya.”
Pada dasarnya imam Shufi bukan beliau saja, sebut saja misalnya Imam al Ghazali dan Imam Abu Yazid al Busthami. Dan dikenal pula dalam tashawwuf itu pendiri tarekat, seperti Imam Sayyid Syekh Abdul Qadir al Jailani dan Imam Baha’uddin an Naqsyabandi atau Imam Sayyid Abul Hasan asy Syadzili. Tapi, bila dilihat dari segi silsilah sanad pada umumnya melewati Syaikh Thāifah, Imam al Junaid al Baghdadi yang telah saya sebut sebelumnya.
Mengenai Imam al Ghazali kita mengetahui bahwa Syekh Hujjatul Islam ini termasuk Ulama yang multi talenta, selain sebagai tokoh shufi juga merupakan penyambung riwayat fikih madzhab Imam asy Syafi’i, maka selain mujtahid dalam tashawwuf yang berhasil menyeimbangkan fikih dan tashawwuf juga adalah mujtahid dalam madzhab Syafi’i. Di antara muridnya adalah Imam ar Rafi’i salah seorang syaikhan disamping Imam an Nawawi yang keduanya memiliki peringkat Mujtahid Fatwa, kadang disebut Mujtahid Muqayyid. Mereka semua adalah sangat luar biasa dalam keilmuan tetapi ternyata mereka bermadzhab kepada Imam asy Syafi’i sebagai mujtahid mutlak dalam fikih.
Bahkan Imam al Ghazali adalah seorang Asy’ariyyah dan melakukan gebrakan juga dalam faham Asy’ariyyah ini, beliau berguru kepada Imam al Haramain, Imam al Juwaini, yang bersanad kepada Imam al Baqillani, yang bersanad kepada Imam Abul Hasan al Asy’ari rahimahumullāh wa nafa’anā bi ‘ulūmihim.
Perlu diketahui, istilah wajib atau haram dalam masalah madzhab adalah berdasarkan ijma’ Fuqaha saat itu yang didasarkan istinbathnya kepada salah satu firman Allah:
فَسْــئَلُوْۤا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ۙ
“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Q.S. An-Nahl [16]: 43)
Mengomentari ayat ini Syekh Nawawi berkata:
فأوجب الله السؤال على من لم يعلم، ويلزم عليه الأخذ بقول العالم وذلك تقليد له _ نهاية الزين ص ٧
“Maka Allah mewajibkan bertanya kepada orang yang tidak mengetahui, dan mestilah kepadanya untuk mengambil pendapat seorang ‘alim. DAN HAL ITU MERUPAKAN TAQLID KEPADANYA.”
Dan dalil lainnya seperti firman Allah Ta’ala:
الرَّحْمنُ فَاسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا
“(Dialah) Yang maha Pemurah, maka tanyakanlah tentang Dia kepada orang yang mengetahui..” (Q.S. al-Furqan : 59)
Sederhananya, bila kita mengambil pendapat seseorang dalam teori dan terapannya maka disebut dengan taqlid.
Seorang yang awam terhadap agama tidak boleh sok tahu tentang urusan agama, karena jika seandainya perkataannya salah secara keilmuan maka konsekuensinya selain dirinya salah juga bisa membuat orang lain salah, dengan kata lain “sesat dan menyesatkan.” Na’ūdzubillāh.
Imam al Ghazali berkata:
وإنما حق العوام أن يؤمنوا ويسلموا ويشتغلوا بعبادتهم ومعايشهم ويتركوا العلم للعلماء فالعامي لو يزني ويسرق كان خيراً له من أن يتكلم في العلم فإنه من تكلم في الله وفي دينه من غير إتقان العلم وقع في الكفر من حيث لا يدري كمن يركب لجة البحر وهو لا يعرف السباحة _ إحياء علوم الدين ج ٣ ص ٣٦
“Sesungguhnya hak awam adalah mereka beriman, berislam, dan menyibukkan dirinya dengan ibadah dan ma’isyah/mencari penghidupan mereka. Dan membiarkan urusan ilmu kepada ulama. Seorang awam seandainya ia berzina atau mencuri, itu lebih baik baginya, dari pada ia berbicara tentang ilmu. Karena jika dia membicarakan tentang Allah dan tentang agamanya tanpa memiliki kecakapan ilmu, maka bisa terjerumus kepada kekufuran dari sekira tanpa ia ketahui. Seperti seorang yang berenang dalam arus gelombang laut, sementara dia tidak mengetahui cara untuk berenang.”
Itulah sebenarnya maksud bermadzhab, agar pelaksanaan ibadah itu berdasarkan standar keilmuan para ulama dalam hal ini ulama mujtahid karena memang merekalah yang mampu memproses dalil menjadi kaidah-kaidah dan ketetapan hukum.
Maka, keberadaan para Ulama Mujtahid Muthlaq adalah rahmat bagi Ummat Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
والحاصل أن الإمام الشافعي ونحوه هداة الأمة فى الفروع، والإمام الأشعري ونحوه هداة الأمة فى الأصول والجنيد ونحوه هداة الأمة فى التصوف، فجزاهم الله خيرا، ونفعنا بهم آمين _ نهاية الزين ص ٧
“Al Hasil, Imam asy Syafi’i dan yang seperti beliau adalah pemberi arah umat dalam furū’ agama; Imam al Asy’ari dan yang seperti beliau adalah pemberi arah umat dalam Ushul agama; dan Imam al Junaid dan yang seperti beliau adalah pemberi arah umat dalam tashawwuf. Semoga Allah membalas kebajikan mereka dan semoga kita mendapatkan manfa’at dengan sebab mereka. Āmīn.”
Nah, setelah jelas urgensi bermadzhab dalam furu’, ushul, dan tashawwuf bukan berarti kita begitu saja tinggal dalam ketidaktahuan dan ikut-ikutan. Bermadzhab itu menjalani keagamaan berdasarkan standar, metode (thariqah) dan manhajnya. Hal ini tidak kaku difahaminya, bermadzhab bukan berarti tidak harus melihat kondisi zaman. Justru melalui standar, metode, dan manhajnya kita bisa mampu mengatasi persoalan-persoalan kontemporer dengan pola madzhab. Kecuali bila kita memang sangat awam dan sudah tak mampu lagi belajar sehingga taqlidnya tanpa mengetahui dasar-dasar pengambilan dan alasannya. Tetapi bila masih memiliki kemampuan untuk belajar, ikutilah pendapat para ulama seraya mengetahui alasan-alasan mereka menetapkan atau mengamalkan sesuatu.
Berkata Syekh Abdul Wahab asy Sya’rani qaddasalLāhu sirrahu:
فإن الشريعة كالشجرة العظيمة المنتشرة وأقوال علمائها كالفروع والأغصان، فلا يوجد لنا فرع من غير أصل، ولا ثمرة من غير غصن، كما لا يوجد أبنية من غير جدران، وأجمعوا (أهل الكشف) أيضا على أنه لا يسمى أحد عالما إلا إن بحث من منازع العلماء وعرف من أين أخذوها من الكتاب والسنة لا من ردها بطريق الجهل والعدوان وأن كل من رد قولا من أقوال علمائها وأخرجه عنها فكأنه ينادي على نفسه بالجهل ويقول ألا أشهدوا أني جاهل بدليل هذا القول من السنة والقرآن _ الميزان الكبرى ج ١
“Syari’at itu bagaikan pohon yang besar dan rimbun, dan pendapat-pendapat Ulamanya seumpama batang dan dahan/ranting. Maka tidaklah batang didapati tanpa akar, dan tidak pula didapati buah tanpa dahan/ranting sebagaimana bangunan tidak ditemukan tanpa dinding. Telah sepakat (ahl al kasyf) juga bahwasannya tidaklah seseorang disebut ‘alim (berilmu) kecuali jika dia membahas dari tempat-tempat para Ulama mengambilnya, dan ia mengetahui dari mana mereka (para Ulama) mengambil manazi’nya itu dari al Kitab (al Qur’an) dan Sunnah. Bukan dari penolakannya dengan jalan kebodohan dan permusuhan. Sesungguhnya setiap orang yang menolak salah satu pendapat Ulama dan menghindarinya seolah-olah dia memanggil dirinya dengan kebodohan. Dan dia berkata, ‘Saksikanlah oleh kalian bahwa aku jahil atas dalil pendapat ini, dari as Sunnah atau al Qur’an’. ” (al Miizan al Kubra)
Seperti itulah tugas kita agar memahami setiap perkataan para Ulama terdahulu dan mengerti letak pengambilan mereka baik dari al Qur’an atau as Sunnah.
III. TUNTUTAN MENGUASAI BANYAK CABANG ILMU AGAMA
Dari sekian banyak yang telah dijelaskan, wajiblah bagi kita selalu menuntut ilmu agama. Ilmu yang dipelajari dapat merealisasikan tuntutan mengambil ilmu beserta mengetahui alasannya.
Ilmu-ilmu yang dipelajari harus dipelajari sesuai kategorinya dan standarnya dalam batasan bermadzhab di atas. Boleh memahami keilmuan lintas madzhab tetapi jangan sampai terjatuh kepada mengambil yang enak-enaknya saja alias “talfiq”.
Ilmu-ilmu apa saja yang harus dipelajari? Dan manakah yang harus didahulukan. Perhatikan ‘ibarah berikut:
فائدة أخرى: العلوم المقصودة سبعة: علم أصول الدين، ويسمى علم التوحيد وهو أفضلها فالقراءت فالتفسير فالحديث فأصول الفقه فالفقه وهو بعد صحة الإيمان أهمها ونهايته مبادى التصوف المسماة بالطريقة وغايتها علم الحقيقة فالطب وهو تالى الفقه فى الأهمية ولهذا قال الشافعي رضي الله عنه العلم علمان علم الفقه للأديان وعلم الطب للأبدان. والآلات أفضل من الطب وأهمها ثلاثة: النحو واللغة والحساب المراد لتصحيح المسائل
فينبغي للطالب أن يقدم الأهم فالأهم ولا يستغرق عمره في فن واحد ويعادى غيره من العلوم متعاونة بعضها بربط بعضا ولأن الشخص لا يكمل إلا إذا شارك في غالب العلوم … _ الفوائد المكية [من مجموعة سبعة كتب مفيدة] للسيد علوي بن أحمد السقاف ط. الحرمين ص ١٠
“[Faidah yang lainnya] Ilmu-ilmu yang dijadikan tujuan (maqshudah) ada tujuh:
1. Ilmu Ushūluddīn, dan dinamakan ILMU TAUHID. Ilmu ini adalah yang afdlal (paling utama).
2. Ilmu Qirā’āt
3. Ilmu Tafsir
4. Ilmu Hadits
5. Ilmu Ushul Fiqih
6. Ilmu Fiqih.
Dan ilmu Fiqih setelah SAHNYA IMAN merupakan ilmu yang paling penting, dan penghujungnya adalah prinsip-prinsip tashawwuf yang disebut THARIQAH (tarekat). Dan tujuannya thariqah adalah mencapai ilmu HAQIQAH (hakekat).
7. Ilmu ath Thibb, (kedokteran/medis/pengobatan). Ilmu ini adalah yang berikut dari fikih dari segi betapa pentingnya (urgensinya). Karena ini Imam asy Syafi’i berkata, ‘Ilmu itu ada dua jenis: Fikih untuk masalah agama, dan Thibb untuk masalah badan/tubuh.’ Dan ilmu-ilmu alat lebih utama daripada ilmu thibb. Dan yang paling penting dari ilmu alat ada tiga, yaitu: nahwu, lughah, dan hisab/perhitungan yang dikehendaki untuk memvalidasi (memberikan tash-hih) berbagai masalah.
Maka hendaklah bagi pencari ilmu memulai ilmu yang lebih penting lalu yang lebih penting berikutnya, DAN HENDAKNYA TIDAK TENGGELAM DALAM SEUMUR HIDUPNYA DALAM SATU FAN ILMU SAJA lalu mengabaikan (tidak menyukai) ilmu yang lainnya. Sebagian ilmu itu saling mendukung dengan korelasi yang sebagiannya. DAN SESEORANG TIDAKLAH SEMPURNA KECUALI BILA DIA MENGINTEGRASIKAN GHALIBNYA BERBAGAI ILMU.”
KHĀTIMAH:
Memahami dan mengamalkan ajaran agama tentu sebuah keharusan.
Dalam hal memahami, mempelajari, mengerti, dan menerapkan ajaran-ajaran Islam yang secara estafeta sampai kepada kita adalah sebuah amanah, dan mencari ilmunya dari para guru dengan sumber yang shahih dan “tsiqah” (terpercaya) adalah amanah.
Maka tidaklah setiap penasehat patut untuk berfatwa. Seorang muslim bertanggung jawab dari siapa dia mengambil fatwa.
Kehati-hatian dalam mengambil ajaran, adalah sumber keselamatan dunia dan akhirat.
Itulah di antara pokok-pokok tentang keharusan berpegang pada Ahlussunnah wal Jama’ah melalui aturan bermadzhab baik dalam ushul, furu’ dan tashawwuf serta mempelajari keilmuan dari yang paling penting menuju tahapan berikutnya yang lebih penting sehingga harus mengetahui skala prioritas manakah ilmu yang paling penting yang harus dipelajari, lalu tahapan berikutnya. Walaupun tetap semua ilmu itu harus diawali dengan ilmu iman dan sahnya keimanan, minimal sah menurut standar keilmuan sebab hakikat sejatinya keimanan hanya Allah Yang mengetahui.
*) dari berbagai sumber
Semoga bermanfa’at!
====
الحمد لله بنعمته تتم الصالحات
اَللّٰهُمَّ يَا مُيَسِّرَ كُلَّ عَسِيْرٍ, وَ يَا جَابِرَ كُلِّ كَسِيْرٍ, وَيَا صَاحِبَ كُلِّ فَرِيْدٍ, وَيَا مُغْنِيَ كُلِّ فَقِيْرٍ, وَيَا مُقَوِّيَ كُلِّ ضَعِيْفٍ, وَيَا مَأمَنَّ كُلِّ مَخِيْفٍ, يَسِّرْ عَلَيْنَا كُلَّ عَسِيْرٍ, فَتَيْسِيْرُ العَسِيْرِ عَليْكَ يَسِيْرٌ.
اَللّٰهُمَّ يَامَنْ لاَ يَحْتَاجُ إليَ البَيَانِ وَالتَّفْسِيْرِ حَاجَاتُنَا إليْكَ كَثِيْرٌ وَأنْتَ عَالِمٌ بِهَا وَبَصِيْرٌ.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَاۤ اِنْ نَّسِيْنَاۤ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَاۤ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَا قَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَاعْفُ عَنَّا ۗ وَاغْفِرْ لَنَا ۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰٮنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
اَللّٰهُمَّ رَبَّنَاۤ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّ قِنَا عَذَا بَ النَّارِ
اَللّٰهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ مِنْهُ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اسْتَعَاذَ مِنْهُ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ وَعَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ
وصلى الله على سيدنا ومولانا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والحمد لله رب العالمين
(CE.Az)
baca juga artikel terbaru disini…
dan kunjungi chanel Youtubenya disini