Sehabis Jama’ah Sholat Shubuh Santri Pondok Pesantren Sunan Bejagung Ngaji Kitab Kuning Yakni “ Tafsir Al-Quran Al-Jalalain” Yang dibalagh oleh Almukarom KH.Abdul Matin Djawahir “
Santri mana yang tidak kenal kitab tafsir Jalalain. Sejak dahulu hingga sekarang, kitab ini selalu dikaji dan menjadi bahan rujukan. Kitab ini menjadi semacam buku ”babon” yang wajib dipelajari setiap santri.
Kitab tafsir Jalalain merupakan karya Iman Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti. Jalaluddin al-Mahalli adalah guru dari Jalaluddin as-Suyuti. Karena kesamaan nama yang dimiliki oleh dua ulama besar ini, maka kitab tafsir ini disebut dengan Jalalain.
Dalam sebuah riwayat yang masyhur diceritakan bahwa pada awalnya Imam Jalaluddin al-Mahalli menulis tafsir Alquran dengan memulai dari surat Al Kahfi. Namun, ketika sampai surat An-Nas, Imam Jalaluddin al-Mahalli meninggal dunia (864 H). Kemudian, Imam Jalaluddin as-Suyuti bermimpi didatangi gurunya, yakni Imam Jalaluddin al-Mahalli, supaya melanjutkan karangan tafsir yang belum selesai ditulisnya.
”Sempurnakanlah tafsir yang sudah aku rampungkan mulai surat Al Kahfi hingga akhir Alquran! Aku memilihmu karena sifat amanah, kesalehan amal, dan ketulusan cintamu kepadaku,” titah sang guru dalam mimpi kepada Jalaluddin as-Suyuti.
Jalaluddin as-Suyuti pun menjalankan titah gurunya, merampungkan sisa surat Alquran yang belum ditafsirkan oleh gurunya, mulai surat Al-Fatihah hingga surat Al-Isra’. Karena itu, sempurnalah kitab tafsir Jalalain sebagaimana yang ada saat ini.
Sebagai tafsir atas ayat-ayat Alquran, kitab tafsir Jalalain menjelaskan makna dan arti setiap kosa kata yang terdapat dalam setiap ayat secara cermat dan singkat. Tidak seperti corak tafsir lainnya yang memberikan ulasan makna kata yang panjang lebar, baik dari aspek bahasa, tata bahasa, maupun semantik.
Pada bagian tertentu, tafsir Jalalain mengupas makna dari aspek tata bahasa. Itu pun jika ada, ulasan dipaparkan secara sangat singkat berdasarkan riwayat dan pendapat yang paling kuat.
Dalam hal ayat yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa tertentu, tafsir Jalalain cenderung memaparkan sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul) yang terkadang disertai dengan kutipan hadis atau atsar dari para ulama salaf, tanpa menyebut sanad dan sumber rujukannya.
Berangkat dari asbab al-nuzul, tafsir ini kemudian mengambil makna ayat. Dengan kata lain, makna ayat yang memiliki asbab al-nuzul lebih diletakkan pada makna khusus sesuai dengan konteks yang melatarinya.
Namun, asbab al-nuzul tidak menjadi satu-satunya patokan untuk menentukan makna ayat. Kadang di tempat lain, tafsir Jalalain mengambil makna umum ayat dan tidak terjebak pada pengertian khusus yang mengacu pada peristiwa tertentu (asbab al-nuzul).
Dari sini, diambil pengertian ayat yang bertumpu pada prinsip al-ibrah bi umum al-lafzh la bi khushus al-sabab. Yakni, pengertian ayat mengacu pada keumuman maknanya dan bukan pada kekhususan sebab yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat.
Dalam menafsirkan hal-hal yang terkait dengan akidah, tafsir Jalalain tampak lebih mengikuti pikiran kaum Asy’ariyah. Misalnya saja dalam menjelaskan kata al-yad surat Al-Ma’idah ayat 64, yaitu bal yadahu mabsuthotani yunfiqu kaifa yasya’. Kata itu tidak ditafsirkan secara harfiah.
Akan tetapi, maknanya diartikan bahwa Allah SWT bersifat Mahadermawan. Kata itu secara majazi menunjukkan melimpah ruahnya nikmat Allah sehingga akhir dari semua ini adalah bahwa Allah SWT memberi kenikmatan kepada hamba-Nya.
Demikian pula ketika menjelaskan kata yuhbibkum sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 31, yaitu qul inkuntum tuhibbuna Allah yuhbibkum Allah. Kata yuhbibkum Allah diartikan bahwa Allah akan memberi pahala (al-tsawab), bukan dimaknai dengan cinta Allah sebagaimana cintanya manusia.
Dari kedua contoh penafsiran tersebut, jelaslah bahwa tafsir Jalalain tidak mengikuti corak penafsiran kaum mujassimah yang meyakini bahwa Allah memiliki jisim sebagaimana makhluk-makhluk yang ada atau menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Jika disebutkan dalam Alquran suatu ayat yang didalamnya menyebutkan bagian anggota tubuh seperti yad Allah, maka kata itu ditafsirkan dan dipahami oleh kaum mujassimah sebagai tangan Allah.
Namun, tafsir Jalalain tidak mengikuti alur berpikir yang seperti itu, tetapi lebih mengikuti cara berpikir Asy’ariyah, yaitu memahami kata yad secara metaforik dengan pengertian kekuasaan Allah. Demikianlah tafsir Jalalain lebih mengambil jalan berpikir Asy’ariyah dalam menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan akidah (teologi).
Karena corak pemaparannya yang tidak bertele-tele, maka tafsir ini dapat dibilang kitab tafsir yang paling simpel dan memiliki metode paling sederhana sehingga para pembaca mudah untuk memahaminya. Jadi, tidak heran jika tafsir Jalalain menjadi kitab tafsir yang paling populer dan paling luas dipelajari dalam dunia pesantren khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Sangat jarang ditemukan pesantren yang tidak menjadikan tafsir Jalalain sebagai bagian kurikulum yang harus dikaji. Meskipun sangat sederhana, tetapi kepopuleran kitab tafsir ini sebanding dengan kemasyhuran kedua pengarangnya, yaitu Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti.
(CE.Az)