Banjir selalu menyisakan isak duka. Banyak yang kehilangan nyawa dalam bencana alam ini. Banyak pula yang kehilangan harta bendanya. Hanyut tak ketemu alamatnya. Lalu bagaimana status barang yang terhanyut banjir menurut pandangan fikih Islam?
Banjir tidak memilih barang untuk dibawa hanyut. Beragam barang yang terbawa, ada kasur, baju, telivisi, sepeda motor, bahkan mobil mewahpun ikut terhanyut dan menjadi viral di berbagai medsos. Barang -barang ini, ada ditemukan di pinggir pantai, pekarangan rumah, bahkan ada yang terdampar di teras rumah warga.
Lalu bagaimana bagi pemilik rumah, pekarangan atau tanah bila ditemukan barang-barang yang dihanyutkan banjir dari hulu ini dan diketahui siapa pemiliknya? Bolehkan mereka memilikinya?
Dalam pandangan Ulama’ madzhab Syafi’i, status barang ini tidak dikategorikan kepada barang temuan (luqathah), namun tergolong barang yang terlantar (مال ضائع) . Bagaimana status harta terlantar ini dalam kajian fikih?
Imam Syarbini mengatakan, bahwa jika pemilik barang ini sudah tidak menghiraukannya, tidak berusaha mencari barangnya yang hanyut, tidak menyebarkan informasi baik di media ataupun selebaran ‘woro woro’, maka barang tersebut bisa diambil sebagai hak milik yang memungutnya.
Tetapi bila masih ada upaya dari pemilik untuk mencari dan mendapatkan barang tersebut, maka yang memungutnya hanya diperbolehkan menyimpan barang untuk nantinya diserahkan kepada pemilik bila diketahui. Al-Iqna’ Fi Hilli alfadz al-Taqrib, 2/98.
Hal berbeda dalam Imam
Zakariyya al-Anshari, pemilik tanah yang menemukan barang hanyutan banjir di
tanah miliknya boleh memilikinya setelah menyiarkan informasi tentang barang
tersebut. Informasi disebarkan hingga dalam pandangan khalayak umum (urf)
menilai pemiliknya sudah tidak mencarinya lagi. Jika, setelah menyiarkan
informasi, diketahui dengan pasti siapa pemiliknya, maka mau tidak mau barang
itu harus diserahkan kepada pemiliknya. Asna al-Matahalib, 13/105
Menyikapi harta terlantar ini, Imam Bujairami mengatakan, bahwa harta terlantar
harus dimasukkan ke dalam kas Negara (bait al-mal). Bila diyakini Negara akan
mendistribusikan barang tersebut kepada kepentingan umum, bila tidak, maka
harta terlantar itu bisa disedekahkan kepada jalan kebaikan seperti membangun
jembatan yang ambruk karena banjir, dan lain sebagainya. Hasyiyah al-Bujairami
ala al-Minhaj, 4/346.
Maka, dalam konteks banjir masyarakat tidak boleh mengambil kesempatan di balik kesempitan. Seberapapun besarnya kebutuhan kita kepada materi, tetapi bukan lantas, mengorbankan saudara yang lain yang kebetulan tertimpa musibah dan kehilangan materi.
Tetap berlaku bijak adalah pilihan sikap terbaik. Kembalikan barang terlantar itu kepada pemiliknya. Karena mestinya kitalah yang menyantuni bukan malah menyatroni.
(CE.Az)