Oleh : Nuris Wardha
XII-A MA Sunan Bejagung
“Zuhud… Zuhud….” dengan suara ngos-ngosan teriak seorang santri sambil berlarian menuju Kantor Pengurus Pondok Putra. Perawakannya yang berisi dan agak gemuk makin membuat santri lain penasaran, Tumben Kang Nasir berolah raga siang-siang. “Mana Zuhud? ditimbali Guse, cepat!” katanya setelah membuka pintu kantor. Kang Aji yang ada disana cuma berekspresi mengangkat kedua bahunya sembari tersenyum.
“Zuhud Plumpang… Zuhud Plumpang… segera menuju ke kantor, menemui Kang Nasir!” suara Kang Aji terdengar dari speaker pengumuman. Dari dalam ruangan itu terlihat beberapa santri berlalu-lalang mempersiapkan ngaji kitab Kifayatul Akhyar di Pendopo Soko Songo.
“ Hmmm… ditimbali Guse lagi?” tanya Aji sambil memandang Nasir yang masih menata nafasnya.
“Iya, ini gawat darurat. Saya takutnya Zuhud itu dikeluarkan. Soalnya pelanggaran dia kan sudah sangat banyak. Ndak pernah ikut shorogan, ndak pernah hafalan, ndak nongol juga kemarin waktu kajian kitab Kifayatul Akhyar oleh Guse” jawab Nasir serius.
Setelah menunggu 10 menit, yang ditunggu tidak jua datang, Para santri di Pondok Putra sudah terlihat agak sepi, hanya beberapa saja yang tinggal. Itu pun mereka sudah membawa kitab dan sandalnya, siap untuk berangkat.
“Duh… bagaimana ini Kang, ngaji Guse dimulai 5 menit lagi” kata Nasir gugup. Suara puji-pujian sudah mulai terdengar dari speaker Soko Songo sebagai pertanda kajian akan segera dimulai. Mungkin ia takut kalau kembali tanpa Zuhud, dialah yang akan kena murka.
Sudah 2 kali ia harus berhadapan dengan Gus, bahkan yang terakhir disertai Kiyai. Mencari solusi terbaik bagi santri-santri yang kelihatannya bandel. Ia sesungguhnya berharap pada mereka untuk bisa berubah dan lebih serius mengaji untuk masa depan mereka sendiri. Minimal mereka tidak mengecewakan harapan kedua orang tuanya. Tapi memang si Zuhud ini agak bengal. Mungkin kalau Nasir merekomendasikan, bisa saja Santri kalong satu ini sudah lama dipulangkan ke orang tuanya. Dia sudah 2 kali ketahuan melompat pagar dan sekali merokok di dalam kamar mandi pondok, sampai ketiduran.
Usaha yang dilakukan Nasir mungkin sudah maksimal. Bahkan ia secara suka rela dan sengaja sowan ke Kiyai dengan membawa catatan santri-santri nakal itu untuk di doakan Kiyai. Dan Alhamdulillah, begitu diberikan wejangan secara pribadi oleh Kiyai, beberapa santri tersebut sudah ada perubahan sikap yang signifikan. Kecuali Zuhud. Nyatanya ia sekarang masih juga belum ketemu. Menghilang seperti di telan bumi. Tentu perasaan gemas bercampur geram sedang menyelimuti Nasir.
“ah… kamu seperti ndak tahu saja. Zuhud itu kan julukannya santri kalong. Bentar-bentar ada, lalu menghilang. Siangnya ngumpet tidur, malamnya berkeliaran. Bilang ke Guse kalau dia sedang ada tugas membeli peralatan pondok, atau sedang dapat takziran membersihkan Qulah, atau kamu bilang aja jujur bahwa dia tidak ada di pondok. Mungkin melompat pagar lagi” nasihat Aji sambil ngeloyor pergi menanting kitabnya. Nasir hanya bengong, tak tahu harus melakukan yang mana. Ia termenung sejenak seakan menyalahkan dirinya sendiri. Apakah memang dianya yang tidak becus mengemban amanah mulahid yang diberikan oleh Kiyai. Atau memang ada proses yang ia lewati sehingga belum juga membuahkan hasil yang memuaskan.
Beberapa menit berselang, suara Guse sudah memulai kajian, bertambah guguplah Nasir. Ia segera keluar dari kantor pondok tanpa alas kaki, ingin menuju kelas-kelas SMP barangkali yang dicari ada disana. Baru beberapa langkah, namanya sudah dipanggil…
“Kang Nasir, Kang Nasir!” suara santri dari belakang menghentikan langkahnya. “Mau kemana?”
“Ohhh… Kang Saulin. Ini saya mau mencari kang Zuhud!” jawab Nasir sambil agak berjingkat menahan panas kakinya. Ndak tahu mengapa juga seluruh pondok memanggil temannya itu dengan sebutan Saulin, padahal nama aslinya adalah Rizal.
“Tanpa sandal begitu?” pertanyaannya agak tersenyum meledek.
“Oh… iya lupa!” pandangannya menuju ke bawah, melihat telanjang kedua kakinya. Bergegas ia kembali ke kantor.
“Echhh… Echhh… mau kemana?” cegah Saulin sambil menahan satu lengannya.
“Mau pakai sandal Kang. Ini agak panas” jawabnya sambil mengangkat satu kakinya bergantian.
“Ohhh… iya, kamu ditimbali Guse tuh! Di Pendopo ya!”. Kata-kata Saulin ini langsung membuat Nasir terbelalak. Ia hanya melongo lemas, kakinya yang tadi berjingkat karena panas, kini malah diam.
“Hadeeewww… mati aku!” terdengar desahnya pelan. Ia segera mengambil air wudlu dan langsung menuju ke pendopo. Perasaannya campur aduk karena malu dan khawatir, sudah dikasih tugas ndak beres, malah dia juga ngajinya ketinggalan.
Sampai di pendopo, ratusan santri sudah terbaris bersap-sap duduk bersila menghadap kitabnya masing-masing. Nasir pun tidak berani melangkah maju ke depan. Ia kemudian hanya duduk di sap paling belakang, begitu bersila ia merasa ada yang janggal.
“Duh, iya. Kitabku mana?” dia hanya bisa meringis sambil menepuk jidatnya yang hitam. Ia segera beranjak, berdiri pelan-pelan, berharap saja Guse tidak menyadari kehadirannya maupun kepergiannya. Baru sedikit beranjak berdiri namanya masuk ke speaker pendopo.
“Kang Nasir!” Suara itu membuat seluruh pandangan menuju kepadanya yang setengah berdiri. Wajahnya memerah sampai kuping menahan malu ketika ia menjadi fokus diantara ratusan santri putra, bahkan ribuan santri putra dan putri yang mendengarnya. Begitulah memang takzirannya, santri telat ngaji harus duduk paling depan.
“Saya yakin, sampai nanti malam akan jadi trending topik di pondok” gumamnya dalam hati.
“Geh Gus!” jawab Nasir bimbang. Nasibnya kini bagai buah simalakama, mau maju tidak membawa kitab, mau mundur juga tidak berani melawan perintah.
“Sini ngaji didepan. Ngaji kok di belakang!” pinta Guse. Nasir segera maju dengan perasaan malu dan muka memerah marah. “Ini semua gegara Zuhuuddd” gumamnya sambil menggeretakkan giginya. Sampailah ia di barisan paling depan tanpa kitab.
Begitulah kehebohan siang itu. Benar saja, tidak hanya habis di pendopo, cerita Nasir masih jadi perbincangan yang serius di kamar pondok. Nasir dihabisi teman-temannya dengan kelakar-kelakar mereka yang memang suka menjahili temannya. Tapi jangan bilang Nasir kalau hanya karena itu membuat ia jadi minder. Ia tetap berjalan gagah kaya Power Ranger, menuju gerbang pondok untuk membalas dendam. Menanti si santri kalong untuk dia kebiri. “Hmmm… rasanya ingin aku melumat habis sampai tulang-tulangnya si Zuhud. Biar tahu rasa” senyumnya kini terlihat sinis. Perasaan kagum pada Zuhud telah sirna. Ketika ia baru masuk pesantren, bercerita bahwa ia hidup secara mandiri dari kecil bersama pengasuhnya. Ayah dan ibunya sudah menjadi TKI semenjak ia TK. Ia kagum, bahwa anak seumuran dia yang SMP sudah bisa mengurus dirinya sendiri.
Adzan maghrib berkumandang, sahut menyahut di beberapa mushola, termasuk dalam pondok. Namun sejauh mata memandang Sang Santri Kalong yang ditunggu tidak kunjung datang juga. Perasaan Nasir yang ingin membalas dendam kini berubah jadi kekhawatiran. Bahkan suara tahlil di pendopo sudah mulai terdengar, pertanda bahwa Jamaah Maghrib telah usai. Tidak biasanya Zuhud pergi sampai jam segini belum pulang. Terlihat ia mondar-mandir gelisah dengan sesekali membetulkan bebetan sarungnya. Niatnya untuk melapor ke Guse juga ia urungkan. Ia khawatir terjadi kehebohan seperti sebulan lalu. Ketika memberikan pengumuman dari speaker pondok bahwa Zuhud hilang. Setelah semua warga pondok panik, ehh… ternyata ia ketiduran di dalam kamar mandi. Malunya bukan main ketika ia melaporkan kejadian itu pada Gus.
Ia bergegas menuju Pendopo menunaikan sholat Maghrib, ledekan teman-temannya sudah tidak ia hiraukan. Setelah Sholat ia baru merapat dengan sie keamanan perihal Zuhud yang hilang. Belum juga genap lima menit ia berbincang, kehebohan terjadi di luar. Derap para santri berlarian ke luar, memandang Zuhud yang baru saja masuk ke gerbang. “Kang Aji, Kang Nasir, Zuhud kembali membawa cewek!” teriak seorang santri sembari agak mendobrak pintu kantor.
“Ahhh… kamu ini bisa saja” terlihat muka Nasir kurang percaya.
“Iya kang, tuh lihat di depan” jari telunjuknya mengarah kepada Zuhud yang berjalan di lapangan. Memang ia bersama seorang wanita seumurannya, tapi tak berhijab. “Mau mati. Untuk apa ia membawa masuk wanita ke pondok kita?” gumamnya dengan tangan mengepal. Suara sindiran dan suwat-suwit dari para santri tidak bisa ia redam.
“Hei bocah! Sini!” teriak Nasir dari dalam kantor. Tapi mungkin karena jaraknya yang jauh, suasana heboh, atau memang tiada dihiraukan, Zuhud langsung belok kiri menuju ndalem pengasuh dengan menggandeng tangan wanita itu”. Nasir kembali berusaha menenangkan para santri dengan sekuat tenaga. Ia menyuruh mereka untuk tadaruz di kamar masing-masing menjelang sholat Isya, daripada melakukan hal yang tiada berguna.
Menunggu sepuluh menit, ia berharap bisa dipanggil oleh Gus dan dilibatkan dalam pembicaraan masalah ini. Ia ingin menuntut pertanggungjawaban dan pernyataan Zuhud yang tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Lima belas menit berselang panggilan belum juga datang. Nasir berharap-harap cemas. Sampai adzan Isya’ berkumandang, ia hanya bisa memasrahkan harapannya. Ia kembali ke kamar-kamar pondok untuk obrak-obrak para santri berjamaah.
Sedang khusyuk berdzikir setelah sholat Isya’, ia dijawil pundaknya oleh seseorang sembari berbisik “Kang Nasir ditimbali Guse”. Tak butuh waktu lama, ia segera mengakhiri dzikirnya untuk sowan. Perasaannya sudah tak lagi segeram tadi. Karena Ia terlihat hanya berjalan biasa saja.
Zuhud dan wanita itu terlihat duduk bersimpuh berjejeran sambil merunduk. Didepan mereka nampak Guse sedang senyum-senyum ketika tahu kedatangan Nasir.
“Assalamualaikum” salam Nasir yang kemudian dijawab keseluruhan yang hadir. Nasir segera mengambil tempat duduk bersila di depan Gus, sesekali memandang Zuhud yang merunduk berjejeran dengan wanitanya “Wonten dawuh Gus?”. Sejenak Guse hanya tersenyum, bergantian memandang Nasir, Zuhud, dan Wanita itu.
“Pertama, kamu Zuhud harus meminta maaf pada Kang Nasir, atas perbuatan kamu. Yang kedua, tolong bantu Kang Zuhud untuk mengemasi barang-barangnya di pondok, besok pagi biar diantar Kang Saulin pakai mobil merah” jelas Guse. Kata-kata Guse yang terakhir itu seakan menghujam ke ulu hatinya. Ia merasa gagal mengemban amanah yang diberikan kepadanya untuk membimbing beberapa santri agar berhasil dalam mengenyam pendidikan di pesantren. Tapi memang Zuhud ini anaknya bengal, tidak gubris kalau dinasehati, malah sekarang bawa-bawa wanitanya ke pondok. Mungkin ini memang sudah ketetapan dan konsekuensi yang harus ia jalani. Pikirnya membela diri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ohhh… iya! Kenalkan, ini Suci adiknya Zuhud” jelas Guse sambil menunjuk wanita itu.
“Ahh…” suaranya pendek sambil terus mengangguk. Dinding pertahanan dan pembelaan yang sudah kokoh ia bangun serasa roboh dalam sekejap. Seseorang yang tadi ia sebut-sebut sebagai wanitanya, ternyata hanyalah mahrom. Tapi mengapa juga Zuhud juga tak pernah cerita kalau punya adik. Suudzonnya tentang wanita itu kini berbuah pengingkaran, seakan ia tak mau percaya pada fakta yang ada di hadapannya. Malu pada Zuhud dan adiknya yang telah ia sangkakan melanggar norma dan tata tertib paling vital dalam pesantren ini.
“Anuu… Gus! Harusnya sayalah yang harus meminta maaf, terutama pada Mbak, Eh… adik Suci. Karena saya telah suudzon kepadanya. Kang Zuhud juga tidak pernah cerita kalau dia punya adik. Setahu saya ia cuma anak tunggal…” muka Nasir memerah kini menahan malu.
Suasana berasa hening sejenak. Masing-masing tenggelam dalam penyesalannya. Guse kemudian menceritakan ihwal kenapa Zuhud dan adiknya bisa sampai disini. Bahwa Zuhud spontan mbedal melompat pagar begitu mendapatkan kabar bahwa adiknya lari dari rumah pengasuhnya. Tiada famili di Pulau Jawa ini, sedangkan Ayah dan Ibunya masih di negeri seberang mencari nafkah. Begitu bertemu dengan adiknya, dia tak tahu harus dibawa kemana. Nasir cuma melongo sambil manggut-manggut saja.
Setelah mereka bermaaf-maafan, Guse mempersilakan kedua Kang-kang itu kembali ke pondok, sedangkan Suci disuruh mandi, makan, dan bergabung menginap semalam di Pondok Putri.
“Kang Hud, adikmu biar mondok aja sekalian disini!” Nasir membuka percakapan sambil berjalan menuju pondok putra.
“Iya Kang. Keinginanku juga seperti itu. Sekalian sekolahnya biar pindah ke MI sini. Tapi ndak tahulah, kelihatannya Suci masih bimbang” jawab Zuhud.
“Nanti kalau sudah besar, untukku ya!” canda Nasir sambil merangkul pundak Zuhud.
“Hahaha… Enak saja. Adik saya kalau sudah besar, mau saya jodohkan dengan putranya Guse kok” jawab Zuhud sambil tertawa-tawa. Ketegangan Nasir dan Zuduh akhirnya cair. Mereka saling berangkulan kembali ke pondok putra.
Zuhud dan adiknya diantarkan pulang ke pengasuhnya pagi-pagi setelah sholat Shubuh. Dia di skors selama 1 minggu, diberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahannya di rumah.
Nasir kembali bertugas obrak-obrak santri putra untuk jamaah, shorogan, kajian kitab, dan ngaji madrasah diniyah. Untuk remaja seusia dia yang baru lulus MA, mungkin tugas itu gampang-gampang susah. Dia harus berhadapan dengan permasalahan-permasalahan kompleks yang terjadi di pesantren. Tapi ia jalani dengan ikhlas, walau kadang harus bersitegang dengan sesama santri, bahkan dengan wali santri. Dialah Nasirun, yang kemudian oleh Guse dilaqobi “Nasirun Wong Kang Nulung”.
(CC.NUR/CE.AD)
Pantau terus channel kami di https://www.youtube.com/channel/UCsjm7oCDt2PbWG5Kpe91hLQ